Minggu, 18 Desember 2011

Hukuman Pidana Mati Bagi koruptor

Pendahuluan

Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatankejahatan berat dengan pidana mati. Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan dipelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidaksama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut diatas.

Dengan adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar kejahatan-kejahatan yang berat dapat dibasmi, dicegah atau dikurangkan, ternyata merupakan harapan hampa belaka.

Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-kejahatan lain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan. Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung dan penentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.

    Pidana mati ini pun menjai salah satu harapan yang muncul di masyarakat untuk mengatasi masalah korupsi. Munculnya wacana hukuman pidana mati bagi para koruptor tidak terlepas dari tingga tingkat korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara. Dari kasus Bank Century, Wisma atlet, sampai kasus Pajak yang dikorupsi hal ini menyebabkan kerugian negara yang tidak sedikit jumlahnya. Maka untuk memberikan efek jera kepada para koruptor maka hukuman pidana mati dianggap sebagai salah satu solusi yang cocok utuk memberikan efek jera bagi koruptor.


Pembahasan

a.    Pengertian Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption sama seperti penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :  Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Selain itu terdapat pengertian korupsi dalam undang-undang antara lain :
Dalam Undang undang nomor 3 Tahun 1971 pengertian korupsi tertuang dalam pasal 1 ayat 1 a dan b yang berbunyi
1.a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
       b. barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Sementara itu dalam undang-undang nomor 31tahun 1999 definisi korupsi tertuang dalam pasal 2 ayat 1 dan 3 yang berbunyi :

Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dari pengertian-pengertian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan terutama yang berkenaan dengan unsur-unsur korupsi antara lain :
•    Perbuatan Melawan Hukum
•    Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
•    Menyalahgunakan wewenang
•    Menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara

b.    Hukuman Pidana Mati Di Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya hukuman mati atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan mengenai macam-macam bentuk pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dan pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.
Peraturan perundang-undang yang lain yang ada di Indonesia, juga banyak yang mencantumkan ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang.
Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah  :
1.    Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2.    Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika
             permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
3.    Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4.     Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang
              direncanakan dan berakibat maut)
5.    Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6.    Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
7.    Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
8.     Pasal444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).

Namun perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah  pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sehingga mereka menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten
Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman. Karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara significan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati. Hingga tahun lalu telah 129 negara yang menghapuskan hukuman mati dari sistem hukumnya, terdiri dari 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati. Hingga saat ini tingal 68 negara yang masih belum memberlakukan penghapusan hukuman mati, termasuk Indonesia.
Mengenai hak asasi manusia (HAM), di Indonesia juga melindunginya dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang ini mengenai hak hidup tercantum dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, secara sekilas pasal ini tidak jauh dengan ketentuan pasal 28A UUD 1945 yang tersebut di atas. Namun jika teliti lagi, dalam penjelasan pasal ini menyatakan :
“setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.”
Dari penjelasan tersebut dapat kita garis bawahi pada kalimat “…berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan…” sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam keadaan tersebut hak untuk hidup dapat dihilangkan. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.
Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Namun demikian, instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali mela¬rang pidana mati melainkan membatasi penerapannya.
Hal itu dalam konteks Indonesia dikukuhkan dalam Pu¬tusan MK No 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, mau¬pun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi me¬rupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 ta¬hun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sem¬buh.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru), pidana mati  masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan. Pengaturan pidana mati dalam Rancangan KUHP diatur dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 89.
c.    Hukuman Pidana Mati bagi Koruptor
Korupsi adalah penyakit yang sulit untuk diberantas. Adanya aturan hukum yang keras tidak menjadikan seorang koruptor menjadi takut untuk melakukan korupsi. Korupsi tidak saja berkait dengan masalah hukum murni semata, tetapi juga menyangkut masalah moral. etika, serta budaya walau hal ini masih dalam taraf perdebatan. Korupsi dan penerapaan sanksi hukum menarik untuk dikaji setidaknya disebabkan oleh beberapa Hal: pertama, bahwa korupsi menjadi penghambat dari pembangunan yang dilaksanakan. Dengan terjadinya korupsi maka terjadi pula ekonomi biaya tinggi. Kedua, terkait dengan terjadinya korupsi, maka pelaksanaan aturan hukum yang berusaha menjerat para koruptor juga telah memberikan ancaman yang berat, berupa penjatuhan sanksi pidana mati. Akan tetapi dalam konteks pelaksanaan ancaman tersebut amat jarang dijatuhkan sebagai sanksi pidana. Apakah dengan hal tersebut menjadikan pelaku korupsi semakin bebas berbuat?

     Dalam hal terjadinya perbuatan korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman pidana mati sesuai ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Hanya pelaksanaan dari ketentuan pidana ini tidak bersifat mengikat secara hukum, karena adanya kata "dapat". Kata tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa pelaku pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati, bukan pelaku pidana dijatuhi hukuman mati.Pelaksanaan hukuman mati pada hakikatnya memberikan faktor jera bagi pelaku serta memberikan pendidikan bagi pihak lain untuk berbuat hal yang sama. Jika pasal tersebut memberikan kata "dapat", maka putusan diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkan pilihan pidana terhadap pelaku pidana korupsi. Penjatuhan pidana mati bagi pelaku korupsi tentu dikaitkan dengan Hak asasi Manusia atas hidup dan kehidupan. Keengganan hakim untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku pidana korupsi berkait dengan hak yang diterima oleh pelaku kejahatan. Penjatuhan pidana mati ditolak karena pidana mati berkait dengan hidup mati seseorang, bagi kaum moralis hal ini berkait dengan hak Tuhan untuk menentukan kematian seseorang. Tentu kematian seseorang merupakan hak Tuhan, akan tetapi hak manusia untuk menjatuhkan pidana mati merupakan hak yang diberikan Tuhan kepada manusia. Artinya menjatuhkan sanksi tersebut bukan karena kesewenangan, melainkan hak yang diberikan Tuhan dengan sebuah kewenangan hukum. Dengan demikian tidak melanggar hak manusia itu sendiri.
Banyak negara yang mulai menghapuskan sanksi mati dalam hukum pidananya, akan tetapi bagi Indonesia hal ini masih perlu untuk dipertahankan. Pidana mati tentunya bersifat paling akhir, tetapi melihat perbuatan korupsi tidak saja merugikan pihak secara individual, maka pidana mati masih logis untuk duipertahankan. Penjatuhan pidana mati tentu tidak saja bersifat memberikan efek jera, tetapi dengan dampak koorupsi yang bersifat menggurita karena menimbulkan gangguan secara ekonomi terhadap keuangan negara, maka hakim harus mulai berfikir alternatif mati sebagai sanksi pidana.
Selain permasalahan penjatuhan pidana mati permasalahan lain yang muncul adalah bahwa pidana korupsi harus diartikan sebagai adanya keuangan negara yang dirugikan (Pasal 2 ayat 1). Jika keuangan negara tidak dirugikan, maka undang-undang ini akan sulit untuk diterapkan. Dengan demikian pelaku kejahatan keuangan yang merugikan keuangan perusahaan tidaklah dapat diartikan merugikan keuangan negara. Tampaknya kita juga harus berfikir dan berpaling pada Pasal 12 UU No.7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2003. Dalam Pasal 12 tersebut dijelaskan bahwa Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum internalnya untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta,meningkatkan standar akuntansidan audit di sektor swasta, jika dipandang perlu memberikan sanksi perdata, adminitratif, atau pidana yang efektif, proporsional dan bersifat larangan bagi yang tidak mematuhi tindakan tindakan tersebut. Penerapan delik korupsi dalam UU ini sebagai sesuatu yang maju, walau akan menimbulkan perdebatan hukum, mengingat pada UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mensyaratkan adanya kerugian negara yang timbul.
Kesimpulan
Pidana mati merupakan salah satu hukuman bagi koruptor hal ini sebagai mana tercantum dalam undang-undang namun karena hukuman ini hanya bersifat hukuman pilihan maka sangat jarang digunakan sebagai tuntutan bagi pelaku korupsi. Namun  apabila hal ini dipandang sebagai salah satu cara untuk membasmi korupsi maka perlu ada permulaan dan realisasi dari hukuman pidana mati bagi koruptor.
Penutup
Sekian makalah ini kami sampaikan semoga bisa memberikan tambahan pengetahuan bagi kita semua terutama dalam bidang hukum pidana terutama yang berkaitan dengan hukuman pidana mati bagi koruptor

Sumber

  • http://dalangkoruptor.blogsidak.com/2011/03/01/pengertian-korupsi/ diakses pada 14 november 2011 pukul 20.15
  •  Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia  Syahruddin Husein S,H
  •  http://hmibecak.wordpress.com/2007/06/14/problemetika-pidana-mati-di-indonesia/ Diakses 7 Desember 2011 pukul 23.15 
  • http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=140&Itemid=140

Tidak ada komentar:

Posting Komentar