Jumat, 23 September 2011

Alat Bukti

PENDAHULUAN

Sebelum kita membahas tentang jenis alat bukti yang digunakan pada hukum acara perdata, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai pembuktian. Dalam suatu proses perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk meyelidiki ada atau tidak hubungan hukum yang menjadi dasar dari gugatan, hal ini yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu gugatan.
   Hakim akan merima suatu gugatan apabila telah terbukti bahwa terdapat hubungan hukum yang menjadi dasar dari gugatan tersebut.   Proses yang digunakan untuk mengetahui  ada tidaknya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan adalah acara pembuktian.

PEMBAHASAN

a.      Pengertian Pembuktian

Hakim akan merima suatu gugatan apabila telah terbukti bahwa terdapat hubungan hukum yang menjadi dasar dari gugatan tersebut.   Proses yang digunakan untuk mengetahui  ada tidaknya hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan adalah acara pembuktian.
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah proses membuktikan  dan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil  yang dikemukan oleh para pihak dalam suatu persengketaan di muka persidangan[1]
Pembuktian adalah suatu usaha atau upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak-pihak berperkara di persidangan pengadilan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan[2]
Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.[3]

b.      Macam-Macam alat bukti
Menurut undang-undang, ada 5 (lima) macam alat pembuktian yang sah, yaitu[4]
1.      Surat-surat
2.      Kesaksian
3.      Persangkaan
4.      Pengakuan
5.      Sumpah
Berikut ini akan kami uraikan secara ringkas tentang alat-alat bukti tersebut;

·         Surat-Surat[5]
            Menurut undang-undang, surat-surat dapat dibagi dalam surat-surat akte dan surat-surat lain. Surat akte ialah suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akte harus selalu ditandatangani.
Surat-surat akte dapat dibagi lagi atas akte resmi (authentiek) dan surat-surat akte di bawah tangan (onderhands).Suatu akte resmi (authentiek) ialah suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akte tesebut. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, jurusita pada suatu pengadilan, Pegawai Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgelijke Stand), dsb.
Menurut undang-undang suatu akte resmi (authentiek) mempunyai suatu kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijs), artinya apabila suatu pihak mengajukan suatu akte resmi, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akte itu, sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.

·       Kesaksian[6]
           Sesudah pembuktian dengan tulisan, pembuktian dengan kesaksian merupakan cara pembuktian yang terpenting dalam perkara yang sedang diperiksa didepan hakim.Suatu kesaksian, harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata sendiri atau yang dialami sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang adanya peristiwa dari orang lain.
           Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dari peristiwa yang dilihat atau dialaminya, karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan itu.Kesaksian bukanlah suatu alat pembuktian yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk mempercayai atau tidak mempercayai keterangan seorang saksi.
           Seorang saksi yang sangat rapat hubungan kekeluargaan dengan pihak yang berperkara, dapat ditolak oleh pihak lawan, sedangkan saksi itu sendiri dapat meminta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian.

·         Persangkaan[7]
Persangkan ialah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang sudah terang dan nyata. Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang dibuktikan juga telah terjadi.Dalam pembuktian, ada dua macam persangkaan, ada persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang sendiri (watterlijk vermoeden) dan persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden).
Persangkaan yang ditetapkan oleh undang-undang (watterlijk vermoeden), pada hakekatnya merupakan suatu pembebasan dari kewajiban membuktikan suatu hal untuk keuntungan salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, adanya tiga kwitansi pembayaran sewa rumah yang berturut-turut. Menurut UU menimbulkan suatu persangkaan, bahwa uang sewa untuk waktu yang sebelumnya juga telah dibayar olehnya.
Persangkaan yang ditetapkan oleh hakim (rechtelijk vermoeden), terdapat pada pemeriksaan suatu perkara dimana tidak terdapat saksi-saksi yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat peristiwa itu. 

·         Pengakuan
Sebenarnya pengakuan bukan suatu alat pembuktian, karena jika suatu pihak mengakui sesuatu hal, maka pihak lawan dibebaskan untuk membuktikan hak tersebut, sehingga tidak dapat dikatakan pihak lawan ini telah membuktikan hal tersebut. Sebab pemeriksaan didepan hakim belum sampai pada tingkat pembuktian.
Menurut undang-undang, suatu pengakuan di depan hakim, merupakan suatu pembuktian yang sempurna tentang kebenaran hal atau peristiwa yang diakui. Ini berarti, hakim terpaksa untuk menerima dan menganggap, suatu peristiwa yang telah diakui memang benar-benar telah terjadi, meskipun sebetulnya ia sendiri tidak percaya bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh telah terjadi.
·         Sumpah
            Menurut UU ada dua macam bentuk sumpah, yaitu sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) dan ”tambahan” (supletoir eed).
Sumpah yang ”menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan.
Suatu sumpah tambahan, adalah suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu ”permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.

c.       Pengertian putusan dan macam-macam putusan
Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).[8]
Ada berbagai jenis Putusan Hakim dalam pengadilan sesuai dengan sudut pandang yang kita lihat. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai berikut[9] :
1.      Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan
2.      Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetaoi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan
3.      Putusan Serta Merta

Dari segi ketidak hadirnya para pihak saat putusan hakim dijatuhkan :[10]
1.      Putusan gugur adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan tergugat hadir dan mohon putusan.Putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan pembacaan gugatan/permohonan
2.      Putusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon putusan.Verstek artinya tergugat tidak hadir
3.      Putusan kontradiktoir adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri salah satu atau para pihakdalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam siding. Terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding.

Jika dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai berikut[11]:
1.      Putusan tidak menerima yaitu putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil
2.      Putusan menolak gugatan penggugat yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap pemeriksaan dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti
3.      Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak menerima selebihnya. Putusan ini merupakan putusan akhir
4.      Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya.Putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti

Dari Segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan[12] :
1.    Putusan Diklatoir yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut hukum
2.Putusan Konstitutif Yaitu suatu putusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau
hubungan keperdataan satu sama lain
3.      Putusan Kondemnatoir Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk memenuhi prestasi

d.      Susunan dan Isi Putusan
Suatu putusan hakim terdiri dari 4 bagian, yaitu
1)         kepala putusan;
2)         dentitas para pihak
3)         Pertimbangan
4)         Amar putusan atau diktun putusan

KESIMPULAN

            Pembuktian adalah suatu usaha atau upaya untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak-pihak berperkara di persidangan pengadilan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan
Macam-macam alat bukti adalah
1.      Surat-surat
2.      Kesaksian
3.      Persangkaan
4.      Pengakuan
5.      Sumpah
            Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
PENUTUP
            Sekian makalah ini kami sampaikna semoga dapat memberika kita tambahan pengetahuan terutama yang berkaitan dengan permasalahan pembuktian dan juga putusan hakim dalam pengadilan agama.
DAFTAR PUSTAKA
·         Subekti, Hukum Pembuktian,
·         Victor M. Situmorang dan Cormentya Sitanggung, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi,
·         Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005), Cet. X,
·         KUH Perdata
·         Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata
·         Ahmadi Andianto, Putusan Hakim dan Eksekusi








[1] Subekti, Hukum Pembuktian, h. 1
[2] Victor M. Situmorang dan Cormentya Sitanggung, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, h. 86
[3] Retnowulan S dan Iskandar O, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: C.V . Mandar Maju, 2005), Cet. X, Hal. 59
[4] Pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW
[5] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata 178-180
[6] Ibid hal 180-181
[7] Ibid hal 181-182
[8] Ahmadi Andianto, Putusan Hakim dan Eksekusi hal 1
9. Ibid hal 3-5

[10] Ibid hal 6-8
[11] Ibid hal 9-11

[12] Ibid hal 12-13

Kamis, 22 September 2011

etika profesi hukum

KODE KEHORMATAN HAKIM

Saya berjanji:
1.      bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat Hakim Indonesia;
2.      bahwa saya dalam menjalankan jabatan akan berpegang teguh pada Kode Kehormatan Hakim Indonesia;
3.      bahwa saya bersedia menerima sanksi, apabila saya mencemarkan citra, wibawa, dan martabat Hakim Indonesia;
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing saya di jalan yang benar”.
PELAMBANG ATAU SIFAT HAKIM
I.          KARTIKA          ( = Bintang yang melambangkan KETUHANAN YANG MAHA ESA).
II.       CAKRA              ( = senjata ampuh dari Dewan Keadilan yang mampu memusnahkan
segala kebathilan, kezaliman, dan ketidakadilan) berarti ADIL.
III.    CANDRA           ( = bulan yang menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerang dalan
kegelapan) berarti BIJAKSANA atau BERWIBAWA.
IV.    SARI                   ( = bunga yang semerbak wangi mengharumi kehidupan masyarakat)
berarti budi luhur atau berkelakuan tidak tercela.
V.       TIRTA                 ( = air, yang membersihkan segala kotoran di dunia) mensyaratkan bahwa
seorang hakim harus jujur.
PERINCIAN MENGENAI SIFAT-SIFAT HAKIM
Ad. I. KARTIKA      = PERCAYA dan TAKWA kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Ad. II. CAKRA          = ADIL
Dalam kedinasan:
1.      Adil
2.      Tidak berprasangka atau berat sebelah (memihak).
3.      Bersungguh-sungguh mencari kebenaran dan keadilan.
4.      Memutus berdasarkan keyakinan hati nurani.
5.      Sanggup mempertanggung jawabkan kepada Tuhan.



Di luar kedinasan:
1.      Saling harga menghargai.
2.      Tertib dan lugas.
3.      Berpandangan luas.
4.      Mencari saling pengertian.
Ad. III.           CANDRA       = BIJAKSANA/BERWIBAWA
Dalam kedinasan:
1.      Berkepribadian.
2.      Bijaksana.
3.      Berilmu.
4.      Sabar.
5.      Tegas.
6.      Disiplin.
7.      Penuh pengabdian pada pekerjaan.
Di luar kedinasan:
1.      Dapat dipercaya.
2.      Penuh rasa tanggung jawab.
3.      Menimbulkan rasa hormat.
4.      Anggung dan berwibawa.
Ad. IV. SARI             = BERBUDI LUHUR/BERKELAKUAN TIDAK TERCELA
Dalam kedinasan:
1.      Tawakkal.
2.      Sopan.
3.      Ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas.
4.      Bersemangat ingin maju (meningkatkan nilai peradilan).
5.      Tenggang rasa.
Di luar kedinasan:
1.      Berhati-hati dalam pergaulan hidup.
2.      Sopan dan susila.
3.      Menyenangkan dalam pergaulan.
4.      Tenggang rasa.
5.      Berusaha menjadi tauladan bagi mesyarakat sekelilingnya.



Ad. V. TIRTA                        = JUJUR
Dalam kedinasan:
1.      Jujur.
2.      Merdeka = berdiri di atas semua pihak yang kepentingannya bertentangan, tidak membeda-bedakan orang.
3.      Bebas dari pengaruh siapapun juga.
4.      Sepi ing pamrih.
5.      Tabah.
Di luar kedinasan:
1.      Tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan.
2.      Tidak boleh berjiwa mumpung.
3.      Waspada.
SIFAT HAKIM
Pegangan mengenai d\sikap Hakim dibedakan juga dalam dua bidang, yakni:
1.      Dalam kedinasan.
2.      Di luar kedinasan.
Ad. 1.  Dibagi dalam 6 bagian, yakni:
a.       Sikap Hakim dalam persidangan.
b.      Sikap Hakim terhadap sesama rekan.
c.       Sikap Hakim terhadap bawahan/pegawai.
d.      Sikap Hakim terhadap atasan.
e.       Sikap Pimpinan terhadap bawahan/rekan Hakim.
f.       Sikap Hakim keluar/terhadap instansi lain.
Ad. 2.  Dibagi dalam 3 bagian, yakni:
1.      Sikap pribadi Hakim sendiri.
2.      Sikap dalam rumah tangga.
3.      Sikap dalam masyarakat.
1.      DALAM KEDINASAN:
a.       SIKAP HAKIM DALAM PERSIDANGAN:
1.      Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku.
2.      Tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atar bersimpatik atau anti pati terhadap pihak-pihak yang berperkara.
3.      Harus bersikap sopan, tegas, dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
4.      Harus menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan.
b.      SIKAP TERHADAP SESAMA REKAN:
1.      Memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesama rekan.
2.      Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa, dan saling menghargai antara sesama rekan.
3.      Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan, terhadap korps Hakim.
4.      Menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
c.       SIKAP HAKIM TERHADAP BAWAHAN/PEGAWAI:
1.      Harus mempunyai sifat kepemimpinan terhadap bawahan.
2.      Membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan.
3.      Harus mempunyai sifat sebagai seorang bapak/ibu yang baik terhadap bawahan.
4.      Memberi contoh kedisiplinan terhadap bawahan.
d.      SIKAP HAKIM TERHADAP ATASAN:
1.      Taat kepada pimpinan atasan.
2.      Menjalankan tugas-tugas yang telah digariskan oleh atasan dengan jujur dan ikhlas.
3.      Berusahan memberi saran-saran yang membangun kapada atasan.
4.      Mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan/mengemukakan pendapat kepada atasan tanpa meninggalkan norma-norma kedinasan.
5.      Tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun.
e.       SIKAP PIMPINAN TERHADAP SESAMA REKAN HAKIM:
1.      Harus memelihara hubungan baik dengan Hakim bawahannya.
2.      Membimbing bawahan dalam pekerjaan untuk memperoleh kemajuan.
3.      Harus bersikap tegas, adil, serta tidak memihak.
4.      Memberi contoh yang baik dalam perikehidupan, di dalam maupun di luar dinas.
f.       SIKAP HAKIM TERHADAP INSTANSI LAIN:
1.      Harus memelihara kerjasama dan hubungan yang baik dengan instansi-instansi lain.
2.      Tidak boleh menonjolkan kedudukannya.
3.      Menjaga wibawa dan martabat Hakim dalam hubungan kedinasan.
4.      Tidak menyalahgunakan wewenang dan kedudukan terhadap instansi lain.


2.        DI LUAR DINAS:
a.    SIKAP HAKIM PRIBADI:
1.         Harus memiliki kesehatan jasmani dan rohani.
2.         Berkelakuan baik dan tidak tercela.
3.         Tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan.
4.         Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat.
5.         Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat Hakim.
b.    SIKAP DALAM RUMAH TANGGA:
1.         Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan yang tercela, baik menurut norma-norma hukum kesusilaan.
2.         Menjaga ketentraman dan keutuhan rumah tangga.
3.         Menyesuaikan keutuhan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat.
4.         Tidak dibenarkan hidup berlebih-lebih dan mencolok.
c.    SIKAP DALAM MASYARAKAT:
1.         Selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat.
2.         Dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong royong.
3.         Harus menjaga nama baik dan martabat Hakim.