1. Rationale
Asuransi Syariah
Asuransi konvensional merupakan termasuk akad yang mengandung unsur gharar
(ketidakpastian) dan maysir (perjudian) karena masing-masing dari kedua
belah pihak yang bertransaksi tidak mengetahui (pada saat mereka melakukan
akad) ukuran atau nilai yang akan mereka berikan atau yang akan mereka peroleh
secara pasti. Bisa jadi insured baru membayar premi satu kali kemudian
terjadi kecelakaan maka dengan demikian ia berhak mendapatkan imbalan dari
pihak insurer sesuai dengan kontrak, dan bisa jadi pula insured
membayar semua premi tapi tidak mendapat imbalan materi apapun karena tidak
terjadi kecelakaan.
Oleh karena itu Islam sebagai agama yang lengkap dan rahmatan
lil-‘alamin menawarkan konsep asuransi Islam yang adil bagi kedua-dua pihak
yaitu dengan menerapkan konsep takaful. Istilah yang pada mulanya digunakan
adalah al-ta’min,[1] akan
tetapi kemudian yang lebih populer adalah kata takaful. Kata dasar dari takaful
ialah kafala yang berarti menjamin, menjaga atau memelihara.[2]
Sedangkan takaful (bentuk masdar) berasal dari kata kerja takafala
yang berarti saling menjamin, saling menjaga dan saling memelihara (dengan
tujuan meringankan beban), guaranteeing each other.[3] Tujuan
penggunaan istilah takaful adalah untuk memberikan signikansi bahwa kontrak
asuransi dalam takaful berdasarkan atau menerapkan elemen-elemen keislaman.[4]
Pada dasarnya, secara substansial takaful mempunyai persamaan tujuan dengan
asuransi konvensional yaitu merupakan instrumen untuk membantu golongan yang
tidak bernasib baik kerana ditimpa musibah.[5] Dengan
kata lain, takaful maupun asuransi konvensional bertujuan untuk saling membantu
untuk memikul musibah yang mungkin akan menimpa sebagian mereka atau
meringankan kerugian sebagian anggota. Asuransi konvensional merupakan suatu
cara modern untuk memindahkan risiko yang mungkin terjadi dari insured
kepada insurer dengan mekanisme transaksi yang tertentu, sedangkan
takaful juga merupakan cara modern untuk saling membantu berdasarkan Syariah
dengan menerapkan konsep saling membantu (takaful) untuk memikul musibah
yang mungkin akan menimpa sebagian dari anggota yang menyertai takaful atau
meringankan kerugian sebagian anggota.[6]
Walaupun secara substansial takaful dan asuransi konvensional mempunyai
persamaan tujuan, akan tetapi terdapat perbedaan fundamental yang menjadikan
asuransi konvensional bertentangan dengan Syariah (dilarang) dan takaful sesuai
Syariah (dibolehkan), yaitu karena transaksi dalam asuransi konvensional
terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan Syari‘ah, yaitu adanya unsur
riba, gharar, dan maysir, sehingga menjadikan asuransi konvensional
bertentangan dengan Syari‘ah.[7]
Sedangkan asuransi Islam yang berasaskan takaful menawarkan konsep asuransi
yang bebas dari unsur-unsur terlarang tersebut.[8]
Takaful merupakan sistem asuransi Islam yang berasaskan prinsip muamalah
Islam. Konsep, instrumen dan mekanisme yang diterapkan dalam takaful berbeda
dengan asuransi konvensional. Konsep takaful bisa menggambarkan suatu mekanisme
asuransi yang berasaskan pada hubungan persaudaraan, rasa saling tangung jawab
dan saling bekerjasama di kalangan peserta takaful. Konsep dasar yang digunakan
adalah asas saling menjamin antar peserta yang mengikuti takaful.[9] Jadi,
takaful ini berbeda dengan asuransi konvensional yang berasaskan pemindahan
resiko kepada pihak lain. Resiko dalam takaful bukan dipindahkan kepada pihak
lain, tetapi ditanggung bersama di antara kalangan peserta yang mengikuti
takaful. Oleh karena itu semua peserta dikenakan iuran sumbangan takaful yang
disebut tabarru‘ yang merupakan sumbangan khairat (kebajikan). Untuk
memudahkan memanaj dana tabarru‘ itu maka perlulah dibentuk perusahaan
takaful yang mengendalikan dana tabarru‘ itu secara profesional. Jika
terjadi kecelakaan atau kerugian yang menimpa salah satu peserta takaful,
setiap peserta bersetuju untuk membantu peserta yang mengalami musibah itu.[10]
2. Elemen
Riba, Gharar, dan Maysir dalam Kontrak Asuransi Konvensional
Asuransi konvensional bertentangan dengan Syariah
karena dalam transaksinya mengandung unsur-unsur yang dilarang oleh Syariah
yaitu unsur gharar, maysir dan riba.[11] Penjelasan terhadap adanya unsur-unsur
tersebut dalam transaksi asuransi konvensional adalah sebagai berikut:
A.
Gharar
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab 2, bahwa gharar adalah segala
transaksi yang tidak jelas (ghairu ma‘lum/unknown) dalam hal-hal
khususnya atau tidak jelas hasil atau konsekuensinya (majhul ‘aqibah).[12] Gharar
merupakan suatu perbuatan penipuan atau muslihat dan memberikan penderitaan
dengan kebatilan atau kebohongan (batil) yang
bertentangan dengan kebenaran (haq).[13] Dengan
demikian satu pihak mendapat keuntungan sementara pihak yang lain tidak
menerimanya. Gharar terjadi karena: (1) kurangnya informasi (baik berkaitan
dengan sifat, spesifikasi, harga, waktu penyerahan) tentang objek kontrak pada
pihak yang berkontrak, dan (2) objek kontrak tidak ada.[14]
Transaksi yang mengandung unsur gharar dapat menimbulkan perselisihan, karena
barang yang diperjualbelikan tidak diketahui dengan baik, sehingga sangat
dimungkinkan terjadi penipuan.
Kontrak asuransi konvensional mengandung unsur gharar kerana apabila tidak
berlaku tuntutan, satu pihak (perusahaan asuransi) akan mendapat semua
keuntungan (premium) sementara satu pihak lagi (peserta) tidak mendapat
keuntungan apa pun.[15] Bahkan
dalam penentuan jumlah premium pun juga mengandung unsur gharar karena cara
penentuannya berdasarkan resiko, padahal masing-masing pihak tidak mengetahui
dengan pasti limit atau tingkat resiko serta tanggung jawab dan kewajiban
masing-masing. Masing-masing pihak tidak tahu apakah ia nanti dapat musibah
atau tidak.[16]
Di samping itu, kontrak asuransi konvensional mengandung elemen gharar
kerana pada dasarnya transaksi dalam asuransi konvensional merupakan kontrak
jual beli. Dalam Islam, suatu kontrak jual beli harus memenuhi syarat dan rukun
jual beli. Rukun
jual beli adalah sebagai berikut:
1. Sighah kontrak yang
terdiri dari ijab dan qabul (sighah).
2. Pihak-pihak
yang melakukan kontrak yaitu mereka yang membuat ijab dan qabul (al-‘aqidani).
3. Harga
(al-Thaman).
4. Objek
kontrak (ma‘qud ‘alaih), yaitu benda atau hak yang dijadikan objek pada
suatu kontrak. Syarat-syarat
objek kontrak adalah sebagai berikut:
a. Secara
prinsipil bersifat legal dan berharga dalam Islam, bukan sesuatu yang
diharamkan.
b. Objek
kontrak haruslah dispesifikasikan dan didefinisikan secara jelas baik jenis
ataupun ukurannya untuk menghindari ketidakpastian, kebingungan, atau
ambiguitas.
c. Objek
kontrak harus dimiliki dan eksis, untuk menghindari spekulasi.
d. Objek
kontrak harus betul-betul dimiliki penjual dan dapat diserahkan pada waktu yang
ditetapkan sesuai kesepakatan. [17]
Sementara itu, dalam kontrak asuransi konvensional, ma‘qud ‘alayh (objek
kontrak) tidak jelas (sebagaimana tersebut dalam kriteria gharar yang berkait
dengan objek kontrak),[18] yaitu:
a.
Tidak diketahui
dengan jelas apakah insured akan mendapat atau tidak bayaran yang
dijanjikan.
b.
Tidak diketahui
dengan pasti jumlah bayaran yang akan diterima
c. Tidak
diketahui dengan pasti kapan waktu menerima bayaran.[19]
Dengan demikian, kontrak asuransi konvensional mengandung unsur
gharar yang menjadikan transaksi tersebut tidak dapat dibenarkan dari sisi
hukum Islam.
B. Maysir (Judi)
Para ulama
menyatakan bahawa maysir dan gharar mempunyai kaitan yang amat rapat. Ini
bererti jika sesuatu transaksi itu mengandungi unsur gharar maka dengan sendirinya
unsur judi turut ada. Ini karena maysir pada masa kemudiannya dimaknai oleh
para ulama mengikut makna literalnya
yaitu sering dipersamakan dengan qimar[20]
atau mukhatara
yang bermakna spekulasi atau perjudian dan taruhan.[21]
Prinsip perjudian adalah, seseorang
apakah akan mendapat bagian banyak, sedikit atau bahkan tidak dapat bagian sama
sekali semata-mata tergantung pada keberuntungan, dan ketidakjujuran juga
menjadi bagian bagian utama dalam transaksi ini.[22]
a.
Peserta membayar
premium yang kecil dengan mengharapkan uang yang lebih besar jumlahnya.
b.
Peserta akan
kehilangan uang premium apabila peristiwa yang dilindungi (the insured event)
tidak berlaku khususnya dalam asuransi jiwa dan asuransi umum.
c.
Perusahaan
asuransi akan rugi jika terpaksa membayar tuntutan yang melebihi jumlah premium
yang diterima.
Dengan demikian, asuransi konvensional mengandung unsur perjudian, karena
salah satu pihak membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak
dengan cara untung-untungan atau tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan,
peserta berhak mendapatkan semua harta yang dijanjikan tapi jika tidak maka
akibatnya akan merugikannya.[24] Dengan
demikian, nyatalah bahwa unsur perjudian terdapat dalam transaksi asuransi ini,
dan maslahat masing-masing pihak justeru tegak di atas bencana pihak yang lain,
perusahaan asuransi maslahatnya terletak pada apa yang ia dapatkan ketika tidak
terjadi kecelakaan, dan maslahat peserta asuransi muncul ketika peristiwa yang
dilindungi (the insured event) betul-betul berlaku.
C. Riba
Unsur riba dalam bisnis asuransi terdapat dalam beberapa aspek, yaitu di
antaranya mulai dalam hal perhitungan jumlah premium sampai pembayaran kompensasi
pada pihak yang mengalami kecelakaan. Unsur riba juga terdapat dalam kontrak
pinjaman dari polis (policy loan) yang ditawarkan kepada peserta dalam
produk asuransi jiwa seumur hidup. Dalam transaksi pinjaman ini, perusahaan
asuransi akan mengenakan bunga (interest) kepada peserta yang meminjam.
Bunga yang dikenakan terhadap pinjaman tersebut merupakan salah satu bentuk
riba yang dilarang oleh Islam.[25]
Elemen riba juga terdapat dalam praktek pencarian keuntungan dalam
investasi oleh perusahaan asurasni dengan menggunakan dana dari kumpulan
premium peserta. Ini kerana dana-dana dari kumpulan premium peserta, kebanyakan
diinvestasikan dalam instrumen keuangan yang menerapkan elemen riba dalam
aktivitasnya.[26]
2.
Landasan Hukum Asuransi Islam[27]
Asuransi Islam merupakan suatu kontrak saling
melindungi antara sesama peserta, di mana terdapat unsur saling tolong-menolong
di antara mereka untuk tujuan kebaikan. Kontrak semacam ini dibenarkan oleh
Allah, sesuai firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوْا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan saling tolong
menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kamu saling
tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”. (Terjemahan Q.S. Al-Ma’idah (5): 2)
Islam
juga mengakui bahwa meringankan beban yang ditanggung oleh orang mukmin yang
kesusahan adalah suatu perbuatan mulia dan akan mendapatkan balasannya yang
baik di akhirat kelak. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ
نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ
كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ
اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barangsiapa meringankan
satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia seorang mukmin, maka Allah akan
meringankan kesusahannya di hari kiamat, dan barangsiapa memudahkan/membantu
orang yang kesulitan maka Allah akan memudahkan baginya (urusannya) di dunia
dan akhirat”. (H.R. Muslim).
Islam juga memerintahkan berdirinya sebuah masyarakat yang
tegak diatas dasar saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim
terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling-menguatkan
sebagian kepada sebagian yang lain. Dalam model asuransi Islam, tidak ada
perbuatan memakan harta manusia dengan cara batil, karena apa yang telah
diberikan adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan.
Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِي مُوسَى
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ
بَيْنَ أَصَابِعِهِ (رواه البخاري
“Seorang mukmin
terhadap sesama mukmin bagaikan satu bangunan, sebagiannya mengokohkan bagian
yang lain, lalu Nabi menggenggamkan jarinya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis lain
juga disebutkan:
عَنْ النُّعْمَانِ
بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ
الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ
بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه مسلم
Kedudukan
hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang yang beriman antara satu sama
lain seperti satu tubuh, jika satu dari anggota badannya tidak sehat, maka
memperngaruhi seluruh badannya. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Islam juga menghendaki agar keturunan dari kaum muslimin
itu dalam kondisi berkecukupan, tidak menjadi beban bagi manusia lain.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Dari Sa‘ad bin
Abi Waqas r.a., berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau meninggalkan
anakmu dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik daripada engkau meninggalkannya
dalam kondisi miskin yang meminta batuan orang lain”. (H.R. Bukhari).
Islam juga sangat menganjurkan untuk melindungi
kesejahteraan orang yang lemah seperti janda dan orang miskin dengan suatu
perumpamaan jihad fi sabilillah. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Dari Safwan bin
Salim r.a Nabi bersabda: “Orang yang bekerja untuk janda dan orang miskin itu
laksana orang yang berjihad fi sabililah atau seperti orang yang berpuasa di
siang hari dan beribadah di malam hari…” (H.R. Bukhari).
Kontrak asuransi merupakan suatu instrumen kemudahan hidup
yang menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih nyaman dan aman. Allah
menghendaki agar hamba-hamba-Nya hidup dalam kemudahan dan kenyamanan tanpa
menghadapi kesulitan. Allah berfirman:
“Allah
menghendaki kemudahan untuk kamu sekalian dan tidak tidak menghendaki kesusahan
(kesulitan) bagi kamu sekalian”. (Terjemahan Q.S. al-Baqarah (2): 185).
Allah
juga menyarankan kepada hamba-hamba-Nya untuk mencari kebahagiaan di dunia dan
akhirat, sebagaimana Allah mengajari hamba-hambaNya untuk berdoa sebagaimana
dalam firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى
الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Ya Allah Tuhan kami,
berikanlah kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat”. (Terjemahan Q.S.
al-Baqarah (2): 201).
Justifikasi Terhadap Asuransi
Jiwa dalam Islam
Further grounds
for the justification of a life insurance policy are as follows:
1) A life
insurance policy is similar to a contract of al-wadiah (deposit) whereby two
parties in a financial transaction engage in an agreement that one party
deposits money as an amanah (trust) to the other party to be kept for the
purpose of safety.[76]
A Wadiah is justified by the Qur’anic injunction where Allah (SWT) commanded
people to fulfill the trust (of, inter alia, wadiah). Allah (SWT) ordains to
the effect:
"Allah (SWT)
commands you to render back your trusts to those to whom they are due..."[77]
2) A life
policy is a financial transaction which had been dealt with by the people
before Islam under the doctrine of ‘al-Aqilah as a ‘Urf (custom) which had been
accepted by the Holy Prophet (SAW) whereby the people of every tribe used to
deposit money for a certain amount in order to pay blood money as a
compensation on behalf of the killer of their own tribe to the heirs of the
victim of other tribe. Such ‘Urf (custom) was deemed to bring benefit to
society. A custom which is beneficial to society is permissible in Islam as
justified by the saying of the Holy Prophet (SAW):
"Whatever
Muslims see good, it is good in the eyes of Allah (SWT)"[78]
A life
insurance policy is based on the sanction of mutual cooperation so as the
doctrine of aqila practice was also based on mutual cooperation, therefore,
Zarqa and Alwan accepted the idea that there is enormous similarity between
insurance and aqila in the sense of cooperation.[79]
3) Every
transaction is originaacceptable, unless it involves unlawful elements. Relying
on this principle, it is admitted here that in a life insurance policy the
elements contained are in line with the Shari’ah principles (the life insurance
policy which is based on the Islamic model), and therefore it is undoubtedly
lawful.
4) A life
insurance policy is for the purpose of sustaining public interest. For example,
the purpose of a life insurance policy is to protect the orphans, widows, and
other dependents of the assured from future material risk and thus, it is a
transaction to be justified by the doctrine of masaleh al-mursalah (public
interest). A transaction which is in the public interest is lawful, because it
eliminates hardship and assists a comfortable life for human beings which in
line with the Qur’anic injunction:
"...Allah
(SWT) intends every facilities (inter alia comfortable life) for you; He does
not want to put you to difficulties..."[80]
5) A life
insurance is not a gain or hoping for a chance, but it is a policy for
providing compensation for damage or loss. This is because the policy is an
agreement between the insurer and the assured that, once the assured dies
within the policy period, the insurer will pay an amount of money in
consideration of paid-premiums to the beneficiary(s) of the assured. Such a
payment is like a compensation for the loss of opportunity of future earning by
the breadwinner (assured) due to his death. To provide such compensation is
like a mutual cooperation which is commanded by Allah (SWT).
"...
Cooperate one another in righteousness and piety..."[81]
6) A life
insurance policy is similar to a retirement pension scheme. Al-Zarqa and
al-Alwan apparently discovered that all contemporary scholars agreed on the
validity of retirement pension scheme.[82] Adil
Salahi similarly acknowledged that “All scholars and seats of Islamic learning
approved of the concept of pension because it gives the subscriber security for
himself and his Family in the difficult circumstances of his leaving work or in
case of death.” [83]
Mr. Salahi relying on his acknowledgement poses the question: “Why should
Family security be lawful in one system and not in the other when the method of
operation is practically the same?[84] Relying on
the above justifications it is admitted here that life insurance is like a
retirement pension scheme (which had been widely introduced during the period
of Saidana Omar (r.a) therefore, it is not unlawful transaction.
7) A life insurance
policy is also justified based on the principle of necessity (Darurah). For
example, it is an important task for the guardian to work for the welfare of
his own dependents. It is in line with the tradition of the Holy Prophet (SAW)
where he said to the effect:
"...It is
better for you to leave your off-spring wealthy than to leave them poor, asking
others for help..."[85]
It is also to
be noted here that in the case of necessity that which is prohibited is also to
be permitted in the Islamic discipline as Ibn Nawjeem stated in his book
al-Asba Wan-Nazaira,
"Necessity
permits an unlawful act."[86]
A life
insurance policy of course does not allow for an unlawful transaction, but why
not, the principle of necessity allows it to be permissible.
8) A life
insurance contract is a binding promise. In the light of Islamic jurisprudence,
a promise either unilateral or bilateral, is in both situations binding as
ordained in the Holy Qur’an:
"O ye who
believe? Fulfil all agreements"[87]
According to
Imam Malik (r.a), the founder of the Maliki school of law, every binding
promise is lawful, therefore, every insurance contract contains a binding
promise and thus it is lawful. In other words, in a life insurance contract,
there is an agreement between the assured and the insurer which is a binding
promise towards the protection of widows, orphans and so on, from future
material risk, and therefore such a binding promise makes a insurance contract
valid.
9) A life
insurance contract evolves elements of donation. This is because the assured
pays regular premiums for the protection of his (beneficiary(s); such payments
of premium is like a donation for helpless people. Moreover, once the insurer
pays an amount of money together with an additional amount from the charitable
fund to the beneficiary(s) of the assured in consideration of the paid premiums
this also involves element of donation. A donation is lawful in the Islamic
jurisprudence as justified by the practices of the Prophet (SAW):
"The Prophet
(SAW) used to accept presents (donation)"[88]
Relying on the above
authenticity, it is analytically admitted here that a life insurance policy
does involve elements of donation and therefore, such a policy is to be held
lawful in the eyes of the Islamic discipline.
Kenapa harus Asuransi Syariah?
Asuransi yang
selama ini digunakan oleh mayoritas masyarakat (non syariah) bukan merupakan
asuransi yang dikenal oleh para pendahulu dari kalangan ahli fiqh, karena tidak
termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam, dan tidak pula dari kalangan
para sahabat yang membahas hukumnya. Perbedaan pendapat tentang
asuransi tersebut disebabkan oleh perbedaan ilmu dan ijtihad mereka. Alasannya
antara lain :
- Pada transaksi asuransi tersebut terdapat jahalah (ketidaktahuan) dan ghoror (ketidakpastian), dimana tidak diketahui siapa yang akan mendapatkan keuntungan atau kerugian pada saat berakhirnya periode asuransi.
- Di dalamnya terdapat riba atau syubhat riba. Hal ini akan lebih jelas dalam asuransi jiwa, dimana seseorang yang memberi polis asuransi membayar sejumlah kecil dana/premi dengan harapan mendapatkan uang yang lebih banyak dimasa yang akan datang, namun bisa saja dia tidak mendapatkannya. Jadi pada hakekatnya transaksi ini adalah tukar menukar uang, dan dengan adanya tambahan dari uang yang dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba, baik riba fadl dan riba nasi'ah.
- Transaksi ini bisa mengantarkan kedua belah pihak pada permusuhan dan perselisihan ketika terjadinya musibah. Dimana masing-masing pihak berusaha melimpahkan kerugian kepada pihak lain. Perselisihan tersebut bisa berujung ke pengadilan.
- Asuransi ini termasuk jenis perjudian, karena salahsatu pihak membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung-untungan atau tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan ia berhak mendapatkan semua harta yang dijanjikan, tapi jika tidak maka ia tidak akan mendapatkan apapun.
Melihat keempat hal di atas, dapat dikatakan bahwa transaksi dalam asuransi
yang selama ini kita kenal, belum sesuai dengan transaksi yang dikenal dalam
fiqh Islam. Asuransi syari'ah dengan prinsip ta'awunnya, dapat diterima oleh
masyarakat dan berkembang cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini. Asuransi
syariah dengan perjanjian di awal yang jelas dan transparan dengan aqad yang
sesuai syariah, dimana dana-dana dan premi asuransi yang terkumpul (disebut
juga dengan dana tabarru') akan dikelola secara profesional oleh perusahaan
asuransi syariah melalui investasi syar'i dengan berlandaskan prinsip
syariah.Dan pada akhirnya semua dana yang dikelola tersebut (dana tabarru')
nantinya akan dipergunakan untuk menghadapi dan mengantisipasi terjadinya
musibah/bencana/klaim yang terjadi diantara peserta asuransi. Melalui asuransi
syari'ah, kita mempersiapkan diri secara finansial dengan tetap mempertahankan
prinsip-prinsip transaksi yang sesuai dengan fiqh Islam. Jadi tidak ada keraguan
untuk berasuransi syari'ah.
Secara finansial, sistem
asuransi syariah memungkinkan perolehan (manfaat) yang lebih baik. Bersamaan
dengan itu, semangat solidaritas pun dipupuk melalui iuran kebajikan (tabarru’)
peserta asuransi. Sistem tabarru’ dan bagi hasil (mudharabah)
yang ditetapkan dalam pola operasional asuransi syariah mengharuskan adanya
transparansi di dalam status dana dan pengelolaannya. Demikian pula dalam hal
kontribusi biaya pengelolaan, yang disisihkan sedikit dari premi tahun pertama
saja, ditetapkan dengan jelas dan menjadi bagian dari kesepakatan peserta. Oleh
karena itu sejak awal peserta mengetahui denga jelas komponen premi yang
disetorkannya, yaitu tabarru’ (iuran kabajikan), tabungan (hak mutlak
peserta), dan kontribusi biaya pengelolaan (30% premi tahun pertama).
Selain
itu, peserta dapat melihat perkembangan dari waktu ke waktu perkembangan nilai
tunai polisnya, yakni akumulasi tabungan dan bagi hasilnya. Oleh karenanya
ketika peserta bermaksud mengundurkan diri dalam masa perjanjian karena sesuatu
hal, nilai tunai yang dapat diterimanya dapat dihitung nilainya dan jelas
sumbernya (berasal dari tabungan dan bagi hasilnya). Demikian pula halnya klaim
meninggal yang diterima oleh ahli waris peserta, terdiri dari manfaat asuransi
atau santunan kebajikan (bersumber dari tabarru- tabarru’ peserta), tabungan
yang sudah disetorkan dan bagi hasil tabungannya itu. Dalam hal investasi,
selain pertimbangan profitabilitas, kesesuaian usaha dengan ketentuan syariah
merupakan faktor penentu keputusan investasi. Oleh karena itu peran Dewan
Pengawas Syariah menjadi sangat penting di dalam dinamika pengembangan usaha
asuransi syariah, hal yang tidak ditemukan di dalam asuransi konvensional.
[1] Istilah ini digunakan pada abad 20-an untuk asuransi Islam. Lihat
Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), “The Principle of
Takaful (Collective Responsibility) in Islam and Its Practice in the Operation
of Syarikat Takaful Malaysia Berhad”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 17,
2003, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, h. 40. Untuk
mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang akad al-ta’min ini dan
hal-hal yang berkait dengannya, lihat ‘Abd al-Haq Humaisy dan al-Husein Syawat
(2001), Fiqh al-‘Uqud al-Maliyyah. ‘Amman (Jordan): Dar al-Bayariq, hh.
124-138.
[2] Ibrahim Anis et al. (t.t.), al-Mu‘jam al-Wasit, juz.
2. Kairo: T.P., h. 793.
[3] Mohd. Ma’sum Billah (2003a), Islamic and Modern Insurance,
Principles and Practices. Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, h. 19; Idem
(2003c), Shari’ah Standard of Quantum of Damages in Insurance. Petaling
Jaya: Ilmiah Publishers, h. 23.
[4] Saiful Azhar Rosly (2005), Critical Issues on Islamic Banking
and Financial Markets. Kuala Lumpur: Dinamas Publishing, h. 487.
[5] Afzalur Rahman (1979), Economics Doctrines of Islam, Banking and
Insurance, Vol. 4. London: The Muslim Schools Trust London, h. 78.
[6] Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit.,
h. 34.
[7] Mohd. Ma’sum Billah (2003b), Islamic Insurance (Takaful).
Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, h. 1; Muhammad Nejatullah Siddiqi (1981),
Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature. Leicester:
The Islamic Foundation, h. 27; Mohammad Muslehudin (1978), Insurance and
Islamic Law. Lahore: Islamic Publication Limited, Diterjemahkan oleh
Izuddin Hj. Mohamed (1989), Insuran dan Hukum Islam. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, h. 117; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari
(2003), op.cit., h. 41; Chaudhry Mohamad Sadiq (1995), “Islamic
Insurance (Takafol): Concept and Practice” dalam Encyclopaedia of
Islamic Banking and Insurance. London: Institute of Islamic Banking and
Insurance, h. 198; Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes (1998), Islamic Law
and Finance. The Hague: Kluwer Law International, h. 150.
[8] Nik Norzrul Thani et al. (2003), Law and Practice of
Islamic Banking and Finance. Petaling Jaya: Sweet and Maxweel Asia, h. 153;
Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h.
4.
[9] Chaudhry Mohamad Sadiq (1995), op.cit., h. 198; Mohd Fadzli
Yusof (1996), Takaful: Sistem Insurans Islam. Kuala Lumpur: Utusan
Publications & Distributors Sdn Bhd, hh. 11-13; Frank E. Vogel dan
Samuel L. Hayes (1998), op.cit., hh. 151-152.
[10] Joni Tamkin bin Borhan (2002), “The Framework and Practice of
Islamic Insurance in Malaysia”, dalam AL-JAMI‘AH Journal of Islamic Studies,
Vol. 40, No. 1, Januari-Juni 2002, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, hh.
64-65.
[11] Mohd. Ma’sum Billah (2003b), op.cit., h. 1; Muhammad
Nejatullah Siddiqi (1981), op.cit., h. 27; Mohammad Muslehudin (1978), op.cit.,
h. 117; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit.,
h. 41; Joni Tamkin bin Borhan (2002), op.cit., h. 62.
[12] Ibn al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Husayni al-Jurjani
(2000), al-Ta‘rifat, cet. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
h. 164. Lihat penjelasan lebih lanjut dalam Sami al-Suwailem (2000), “Towards
an Objective Measure of Gharar in Exchange” dalam Islamic Economic Studies, Vol.
7, No. 1 dan 2, Oktober 1999 dan April 2000, hh. 64-66.
[13] Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzur (1954), Lisan
al-‘Arab, juz. 4. Kaherah:
al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, h. 314; al-Fiyruzabadi (1983),
al-Qamus al-Muhit, juz. 2. Beirut: Dar al-Fikr, hh. 99-100;
Saiful Azhar Rosly (2005), op.cit., h. 70.
[14] Misalnya lihat Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Muhammad Ibn Rusyd (1988), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid,
juz. 2. Beirut: Dar al-Qalam, h. 147; Abu Zakariyya Muhyi al-Din bin Syaraf
al-Nawawi (t.t), Majmu‘ Syarh al-Muhadhdhab, juz. 9. Beirut: Dar al-Fikr, h. 257; Nabil A. Saleh (1986), Unlawful Gain
and Legitimate Profit in Islamic Law. Cambridge: Cambridge University
Press, h. 52.
[15] Saiful Azhar Rosly (2005), op.cit., h. 485.
[16] Afzalur Rahman (1979), op.cit., Vol. 4, h. 136; Ahmad
al-Sa‘id Syaraf al-Din (1982), ‘Uqud al-Ta’min wa ‘Uqud Daman al-Istithmar.
TTP: T.P, hh. 142-165.
[17] al-Imam ‘Ala’ al-Din Abu Bakr Ibn
Mas‘ud al-Kasani (t.t), Bada’i‘ al-Sana’i‘ fi Tartib al-Syara’i‘, juz, 5. Beirut: Matba‘ah al-‘Asimah, h. 138 dan 209; ‘Abd al-Rahman
al- Jaziri (t.t.), Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba‘ah, juz. 2,
Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, h. 241 dst; Nayla Comair Obeid
(1996), The Law of Bussiness Contracts in the Arab Middle East. London:
Kluwer Law International, hh. 22-28.
[18] Lihat kriteria gharar dalam kaitannya dengan objek kontrak pada bab
2.
[19] Ab Mumin Ab Ghani (1999), op.cit., h. 345; Joni Tamkin bin
Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 43; Husain Hamid
Hasan (1996), Asuransi dalam Hukum Islam. Jakarta: C.V. Firdaus, hh.
43-47.
[20] Ibrahim Anis et al. (t.t.), op.cit., juz. 2, h. 1064.
[21] Ahmad Hidayat Buang (2000), Studies in The Islamic Law of
Contracts: The Prohibition of Gharar. Kuala Lumpur: International Law Book
Services, h. 38; Sami al-Suwailem (2000), “Towards an Objective Measure of
Gharar in Exchange” dalam Islamic Economic Studies, Vol. 7, No. 1 dan 2,
Oktober 1999 dan April 2000, h. 79.
[22] Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh. 115-116.
[23] Ab Mumin Ab Ghani (1999), op.cit., h. 346; Joni Tamkin bin
Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 44; Husain Hamid
Hasan (1996), op.cit., hh. 72-74; Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh.
122-123; Ahmad al-Sa‘id Syaraf al-Din (1982), op.cit., hh. 190-192.
[24] Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh. 124 dan 208.
[25] Ibid., h. 210.
[26] Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh. 113-210; Ab Mumin Ab
Ghani (1999), op.cit., h. 346; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina
Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 44; Husain Hamid Hasan (1996), op.cit.,
hh. 75-76; Ahmad al-Sa‘id Syaraf al-Din (1982), op.cit., hh. 206-207.
[27] Lihat selengkapnya dalam Mohd. Ma’sum Billah (2003d), op.cit., hh.
42-57; Mohd. Ma’sum Billah (2003d), “Development and Principles of Takaful in
the Islamic Economy” dalam Islamic Law of Trade and Finance A Selected
Issues. Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, hh. 149-156.