Rabu, 26 Oktober 2011

RATIONALE, LANDASAN, DAN JUSTIFIKASI TERHADAP ASURANSI SYARIAH




1. Rationale Asuransi Syariah

Asuransi konvensional merupakan termasuk akad yang mengandung unsur gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian) karena masing-masing dari kedua belah pihak yang bertransaksi tidak mengetahui (pada saat mereka melakukan akad) ukuran atau nilai yang akan mereka berikan atau yang akan mereka peroleh secara pasti. Bisa jadi insured baru membayar premi satu kali kemudian terjadi kecelakaan maka dengan demikian ia berhak mendapatkan imbalan dari pihak insurer sesuai dengan kontrak, dan bisa jadi pula insured membayar semua premi tapi tidak mendapat imbalan materi apapun karena tidak terjadi kecelakaan.

Oleh karena itu Islam sebagai agama yang lengkap dan rahmatan lil-‘alamin menawarkan konsep asuransi Islam yang adil bagi kedua-dua pihak yaitu dengan menerapkan konsep takaful. Istilah yang pada mulanya digunakan adalah al-ta’min,[1] akan tetapi kemudian yang lebih populer adalah kata takaful. Kata dasar dari takaful ialah kafala yang berarti menjamin, menjaga atau memelihara.[2] Sedangkan takaful (bentuk masdar) berasal dari kata kerja takafala yang berarti saling menjamin, saling menjaga dan saling memelihara (dengan tujuan meringankan beban), guaranteeing each other.[3] Tujuan penggunaan istilah takaful adalah untuk memberikan signikansi bahwa kontrak asuransi dalam takaful berdasarkan atau menerapkan elemen-elemen keislaman.[4]

Pada dasarnya, secara substansial takaful mempunyai persamaan tujuan dengan asuransi konvensional yaitu merupakan instrumen untuk membantu golongan yang tidak bernasib baik kerana ditimpa musibah.[5] Dengan kata lain, takaful maupun asuransi konvensional bertujuan untuk saling membantu untuk memikul musibah yang mungkin akan menimpa sebagian mereka atau meringankan kerugian sebagian anggota. Asuransi konvensional merupakan suatu cara modern untuk memindahkan risiko yang mungkin terjadi dari insured kepada insurer dengan mekanisme transaksi yang tertentu, sedangkan takaful juga merupakan cara modern untuk saling membantu berdasarkan Syariah dengan menerapkan konsep saling membantu (takaful) untuk memikul musibah yang mungkin akan menimpa sebagian dari anggota yang menyertai takaful atau meringankan kerugian sebagian anggota.[6]

Walaupun secara substansial takaful dan asuransi konvensional mempunyai persamaan tujuan, akan tetapi terdapat perbedaan fundamental yang menjadikan asuransi konvensional bertentangan dengan Syariah (dilarang) dan takaful sesuai Syariah (dibolehkan), yaitu karena transaksi dalam asuransi konvensional terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan Syari‘ah, yaitu adanya unsur riba, gharar, dan maysir, sehingga menjadikan asuransi konvensional bertentangan dengan Syari‘ah.[7] Sedangkan asuransi Islam yang berasaskan takaful menawarkan konsep asuransi yang bebas dari unsur-unsur terlarang tersebut.[8] 

Takaful merupakan sistem asuransi Islam yang berasaskan prinsip muamalah Islam. Konsep, instrumen dan mekanisme yang diterapkan dalam takaful berbeda dengan asuransi konvensional. Konsep takaful bisa menggambarkan suatu mekanisme asuransi yang berasaskan pada hubungan persaudaraan, rasa saling tangung jawab dan saling bekerjasama di kalangan peserta takaful. Konsep dasar yang digunakan adalah asas saling menjamin antar peserta yang mengikuti takaful.[9] Jadi, takaful ini berbeda dengan asuransi konvensional yang berasaskan pemindahan resiko kepada pihak lain. Resiko dalam takaful bukan dipindahkan kepada pihak lain, tetapi ditanggung bersama di antara kalangan peserta yang mengikuti takaful. Oleh karena itu semua peserta dikenakan iuran sumbangan takaful yang disebut tabarru‘ yang merupakan sumbangan khairat (kebajikan). Untuk memudahkan memanaj dana tabarru‘ itu maka perlulah dibentuk perusahaan takaful yang mengendalikan dana tabarru‘ itu secara profesional. Jika terjadi kecelakaan atau kerugian yang menimpa salah satu peserta takaful, setiap peserta bersetuju untuk membantu peserta yang mengalami musibah itu.[10]

2. Elemen Riba, Gharar, dan Maysir dalam Kontrak Asuransi Konvensional

Asuransi konvensional bertentangan dengan Syariah karena dalam transaksinya mengandung unsur-unsur yang dilarang oleh Syariah yaitu unsur gharar, maysir dan riba.[11] Penjelasan terhadap adanya unsur-unsur tersebut dalam transaksi asuransi konvensional adalah sebagai berikut:

A. Gharar

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab 2, bahwa gharar adalah segala transaksi yang tidak jelas (ghairu ma‘lum/unknown) dalam hal-hal khususnya atau tidak jelas hasil atau konsekuensinya (majhul ‘aqibah).[12] Gharar merupakan suatu perbuatan penipuan atau muslihat dan memberikan penderitaan dengan kebatilan atau kebohongan (batil) yang bertentangan dengan kebenaran (haq).[13] Dengan demikian satu pihak mendapat keuntungan sementara pihak yang lain tidak menerimanya. Gharar terjadi karena: (1) kurangnya informasi (baik berkaitan dengan sifat, spesifikasi, harga, waktu penyerahan) tentang objek kontrak pada pihak yang berkontrak, dan (2) objek kontrak tidak ada.[14] Transaksi yang mengandung unsur gharar dapat menimbulkan perselisihan, karena barang yang diperjualbelikan tidak diketahui dengan baik, sehingga sangat dimungkinkan terjadi penipuan.

Kontrak asuransi konvensional mengandung unsur gharar kerana apabila tidak berlaku tuntutan, satu pihak (perusahaan asuransi) akan mendapat semua keuntungan (premium) sementara satu pihak lagi (peserta) tidak mendapat keuntungan apa pun.[15] Bahkan dalam penentuan jumlah premium pun juga mengandung unsur gharar karena cara penentuannya berdasarkan resiko, padahal masing-masing pihak tidak mengetahui dengan pasti limit atau tingkat resiko serta tanggung jawab dan kewajiban masing-masing. Masing-masing pihak tidak tahu apakah ia nanti dapat musibah atau tidak.[16]

Di samping itu, kontrak asuransi konvensional mengandung elemen gharar kerana pada dasarnya transaksi dalam asuransi konvensional merupakan kontrak jual beli. Dalam Islam, suatu kontrak jual beli harus memenuhi syarat dan rukun jual beli. Rukun jual beli adalah sebagai berikut:
1.    Sighah kontrak yang terdiri dari ijab dan qabul (sighah).
2.    Pihak-pihak yang melakukan kontrak yaitu mereka yang membuat ijab dan qabul (al-‘aqidani).
3.    Harga (al-Thaman).
4.    Objek kontrak (ma‘qud ‘alaih), yaitu benda atau hak yang dijadikan objek pada suatu kontrak. Syarat-syarat objek kontrak adalah sebagai berikut:
a.    Secara prinsipil bersifat legal dan berharga dalam Islam, bukan sesuatu yang diharamkan.
b.    Objek kontrak haruslah dispesifikasikan dan didefinisikan secara jelas baik jenis ataupun ukurannya untuk menghindari ketidakpastian, kebingungan, atau ambiguitas.
c.    Objek kontrak harus dimiliki dan eksis, untuk menghindari spekulasi.
d.   Objek kontrak harus betul-betul dimiliki penjual dan dapat diserahkan pada waktu yang ditetapkan sesuai kesepakatan. [17]

Sementara itu, dalam kontrak asuransi konvensional, ma‘qud ‘alayh (objek kontrak) tidak jelas (sebagaimana tersebut dalam kriteria gharar yang berkait dengan objek kontrak),[18] yaitu:
a.    Tidak diketahui dengan jelas apakah insured akan mendapat atau tidak bayaran yang dijanjikan.
b.    Tidak diketahui dengan pasti jumlah bayaran yang akan diterima
c.    Tidak diketahui dengan pasti kapan waktu menerima bayaran.[19]
Dengan demikian, kontrak asuransi konvensional mengandung unsur gharar yang menjadikan transaksi tersebut tidak dapat dibenarkan dari sisi hukum Islam.

B. Maysir (Judi)

Para ulama menyatakan bahawa maysir dan gharar mempunyai kaitan yang amat rapat. Ini bererti jika sesuatu transaksi itu mengandungi unsur gharar maka dengan sendirinya unsur judi turut ada. Ini karena maysir pada masa kemudiannya dimaknai oleh para ulama mengikut makna literalnya yaitu sering dipersamakan dengan qimar[20] atau mukhatara yang bermakna spekulasi atau perjudian dan taruhan.[21] Prinsip  perjudian adalah, seseorang apakah akan mendapat bagian banyak, sedikit atau bahkan tidak dapat bagian sama sekali semata-mata tergantung pada keberuntungan, dan ketidakjujuran juga menjadi bagian bagian utama dalam transaksi ini.[22]

Dalam kontrak asuransi konvensional mengandung unsur maysir (judi) karena[23]:
a.         Peserta membayar premium yang kecil dengan mengharapkan uang yang lebih besar jumlahnya.
b.        Peserta akan kehilangan uang premium apabila peristiwa yang dilindungi (the insured event) tidak berlaku khususnya dalam asuransi jiwa dan asuransi umum.
c.         Perusahaan asuransi akan rugi jika terpaksa membayar tuntutan yang melebihi jumlah premium yang diterima.

Dengan demikian, asuransi konvensional mengandung unsur perjudian, karena salah satu pihak membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung-untungan atau tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan, peserta berhak mendapatkan semua harta yang dijanjikan tapi jika tidak maka akibatnya akan merugikannya.[24] Dengan demikian, nyatalah bahwa unsur perjudian terdapat dalam transaksi asuransi ini, dan maslahat masing-masing pihak justeru tegak di atas bencana pihak yang lain, perusahaan asuransi maslahatnya terletak pada apa yang ia dapatkan ketika tidak terjadi kecelakaan, dan maslahat peserta asuransi muncul ketika peristiwa yang dilindungi (the insured event) betul-betul berlaku.

C. Riba

Unsur riba dalam bisnis asuransi terdapat dalam beberapa aspek, yaitu di antaranya mulai dalam hal perhitungan jumlah premium sampai pembayaran kompensasi pada pihak yang mengalami kecelakaan. Unsur riba juga terdapat dalam kontrak pinjaman dari polis (policy loan) yang ditawarkan kepada peserta dalam produk asuransi jiwa seumur hidup. Dalam transaksi pinjaman ini, perusahaan asuransi akan mengenakan bunga (interest) kepada peserta yang meminjam. Bunga yang dikenakan terhadap pinjaman tersebut merupakan salah satu bentuk riba yang dilarang oleh Islam.[25]

Elemen riba juga terdapat dalam praktek pencarian keuntungan dalam investasi oleh perusahaan asurasni dengan menggunakan dana dari kumpulan premium peserta. Ini kerana dana-dana dari kumpulan premium peserta, kebanyakan diinvestasikan dalam instrumen keuangan yang menerapkan elemen riba dalam aktivitasnya.[26]

2. Landasan Hukum Asuransi Islam[27]

Asuransi Islam merupakan suatu kontrak saling melindungi antara sesama peserta, di mana terdapat unsur saling tolong-menolong di antara mereka untuk tujuan kebaikan. Kontrak semacam ini dibenarkan oleh Allah, sesuai firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kamu saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”. (Terjemahan Q.S. Al-Ma’idah (5): 2)

Islam juga mengakui bahwa meringankan beban yang ditanggung oleh orang mukmin yang kesusahan adalah suatu perbuatan mulia dan akan mendapatkan balasannya yang baik di akhirat kelak. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barangsiapa meringankan satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia seorang mukmin, maka Allah akan meringankan kesusahannya di hari kiamat, dan barangsiapa memudahkan/membantu orang yang kesulitan maka Allah akan memudahkan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat”. (H.R. Muslim).

Islam juga memerintahkan berdirinya sebuah masyarakat yang tegak diatas dasar saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling-menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dalam model asuransi Islam, tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan cara batil, karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan. Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ (رواه البخاري
“Seorang mukmin terhadap sesama mukmin bagaikan satu bangunan, sebagiannya mengokohkan bagian yang lain, lalu Nabi menggenggamkan jarinya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis lain juga disebutkan:

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه مسلم
Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang yang beriman antara satu sama lain seperti satu tubuh, jika satu dari anggota badannya tidak sehat, maka memperngaruhi seluruh badannya. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Islam juga menghendaki agar keturunan dari kaum muslimin itu dalam kondisi berkecukupan, tidak menjadi beban bagi manusia lain. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Dari Sa‘ad bin Abi Waqas r.a., berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau meninggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik daripada engkau meninggalkannya dalam kondisi miskin yang meminta batuan orang lain”. (H.R. Bukhari).

Islam juga sangat menganjurkan untuk melindungi kesejahteraan orang yang lemah seperti janda dan orang miskin dengan suatu perumpamaan jihad fi sabilillah. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Dari Safwan bin Salim r.a Nabi bersabda: “Orang yang bekerja untuk janda dan orang miskin itu laksana orang yang berjihad fi sabililah atau seperti orang yang berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari…” (H.R. Bukhari).

Kontrak asuransi merupakan suatu instrumen kemudahan hidup yang menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih nyaman dan aman. Allah menghendaki agar hamba-hamba-Nya hidup dalam kemudahan dan kenyamanan tanpa menghadapi kesulitan. Allah berfirman:

“Allah menghendaki kemudahan untuk kamu sekalian dan tidak tidak menghendaki kesusahan (kesulitan) bagi kamu sekalian”. (Terjemahan Q.S. al-Baqarah (2): 185).

Allah juga menyarankan kepada hamba-hamba-Nya untuk mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat, sebagaimana Allah mengajari hamba-hambaNya untuk berdoa sebagaimana dalam firman-Nya:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Ya Allah Tuhan kami, berikanlah kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat”. (Terjemahan Q.S. al-Baqarah (2): 201).

Justifikasi Terhadap Asuransi Jiwa dalam Islam

Further grounds for the justification of a life insurance policy are as follows: 
1) A life insurance policy is similar to a contract of al-wadiah (deposit) whereby two parties in a financial transaction engage in an agreement that one party deposits money as an amanah (trust) to the other party to be kept for the purpose of safety.[76] A Wadiah is justified by the Qur’anic injunction where Allah (SWT) commanded people to fulfill the trust (of, inter alia, wadiah). Allah (SWT) ordains to the effect:
"Allah (SWT) commands you to render back your trusts to those to whom they are due..."[77]
2) A life policy is a financial transaction which had been dealt with by the people before Islam under the doctrine of ‘al-Aqilah as a ‘Urf (custom) which had been accepted by the Holy Prophet (SAW) whereby the people of every tribe used to deposit money for a certain amount in order to pay blood money as a compensation on behalf of the killer of their own tribe to the heirs of the victim of other tribe. Such ‘Urf (custom) was deemed to bring benefit to society. A custom which is beneficial to society is permissible in Islam as justified by the saying of the Holy Prophet (SAW):
"Whatever Muslims see good, it is good in the eyes of Allah (SWT)"[78]
A life insurance policy is based on the sanction of mutual cooperation so as the doctrine of aqila practice was also based on mutual cooperation, therefore, Zarqa and Alwan accepted the idea that there is enormous similarity between insurance and aqila in the sense of cooperation.[79]
3) Every transaction is originaacceptable, unless it involves unlawful elements. Relying on this principle, it is admitted here that in a life insurance policy the elements contained are in line with the Shari’ah principles (the life insurance policy which is based on the Islamic model), and therefore it is undoubtedly lawful.
4) A life insurance policy is for the purpose of sustaining public interest. For example, the purpose of a life insurance policy is to protect the orphans, widows, and other dependents of the assured from future material risk and thus, it is a transaction to be justified by the doctrine of masaleh al-mursalah (public interest). A transaction which is in the public interest is lawful, because it eliminates hardship and assists a comfortable life for human beings which in line with the Qur’anic injunction:
"...Allah (SWT) intends every facilities (inter alia comfortable life) for you; He does not want to put you to difficulties..."[80]
5) A life insurance is not a gain or hoping for a chance, but it is a policy for providing compensation for damage or loss. This is because the policy is an agreement between the insurer and the assured that, once the assured dies within the policy period, the insurer will pay an amount of money in consideration of paid-premiums to the beneficiary(s) of the assured. Such a payment is like a compensation for the loss of opportunity of future earning by the breadwinner (assured) due to his death. To provide such compensation is like a mutual cooperation which is commanded by Allah (SWT).
"... Cooperate one another in righteousness and piety..."[81]
6) A life insurance policy is similar to a retirement pension scheme. Al-Zarqa and al-Alwan apparently discovered that all contemporary scholars agreed on the validity of retirement pension scheme.[82] Adil Salahi similarly acknowledged that “All scholars and seats of Islamic learning approved of the concept of pension because it gives the subscriber security for himself and his Family in the difficult circumstances of his leaving work or in case of death.” [83] Mr. Salahi relying on his acknowledgement poses the question: “Why should Family security be lawful in one system and not in the other when the method of operation is practically the same?[84] Relying on the above justifications it is admitted here that life insurance is like a retirement pension scheme (which had been widely introduced during the period of Saidana Omar (r.a) therefore, it is not unlawful transaction.
7) A life insurance policy is also justified based on the principle of necessity (Darurah). For example, it is an important task for the guardian to work for the welfare of his own dependents. It is in line with the tradition of the Holy Prophet (SAW) where he said to the effect:
"...It is better for you to leave your off-spring wealthy than to leave them poor, asking others for help..."[85]
It is also to be noted here that in the case of necessity that which is prohibited is also to be permitted in the Islamic discipline as Ibn Nawjeem stated in his book al-Asba Wan-Nazaira, 
"Necessity permits an unlawful act."[86]
A life insurance policy of course does not allow for an unlawful transaction, but why not, the principle of necessity allows it to be permissible.
8) A life insurance contract is a binding promise. In the light of Islamic jurisprudence, a promise either unilateral or bilateral, is in both situations binding as ordained in the Holy Qur’an:
"O ye who believe? Fulfil all agreements"[87]
According to Imam Malik (r.a), the founder of the Maliki school of law, every binding promise is lawful, therefore, every insurance contract contains a binding promise and thus it is lawful. In other words, in a life insurance contract, there is an agreement between the assured and the insurer which is a binding promise towards the protection of widows, orphans and so on, from future material risk, and therefore such a binding promise makes a insurance contract valid.
9) A life insurance contract evolves elements of donation. This is because the assured pays regular premiums for the protection of his (beneficiary(s); such payments of premium is like a donation for helpless people. Moreover, once the insurer pays an amount of money together with an additional amount from the charitable fund to the beneficiary(s) of the assured in consideration of the paid premiums this also involves element of donation. A donation is lawful in the Islamic jurisprudence as justified by the practices of the Prophet (SAW):
"The Prophet (SAW) used to accept presents (donation)"[88]
Relying on the above authenticity, it is analytically admitted here that a life insurance policy does involve elements of donation and therefore, such a policy is to be held lawful in the eyes of the Islamic discipline.

Kenapa harus Asuransi Syariah?
Asuransi yang selama ini digunakan oleh mayoritas masyarakat (non syariah) bukan merupakan asuransi yang dikenal oleh para pendahulu dari kalangan ahli fiqh, karena tidak termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam, dan tidak pula dari kalangan para sahabat yang membahas hukumnya. Perbedaan pendapat tentang asuransi tersebut disebabkan oleh perbedaan ilmu dan ijtihad mereka. Alasannya antara lain :

  1. Pada transaksi asuransi tersebut terdapat jahalah (ketidaktahuan) dan ghoror (ketidakpastian), dimana tidak diketahui siapa yang akan mendapatkan keuntungan atau kerugian pada saat berakhirnya periode asuransi.
  2. Di dalamnya terdapat riba atau syubhat riba. Hal ini akan lebih jelas dalam asuransi jiwa, dimana seseorang yang memberi polis asuransi membayar sejumlah kecil dana/premi dengan harapan mendapatkan uang yang lebih banyak dimasa yang akan datang, namun bisa saja dia tidak mendapatkannya. Jadi pada hakekatnya transaksi ini adalah tukar menukar uang, dan dengan adanya tambahan dari uang yang dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba, baik riba fadl dan riba nasi'ah.
  3. Transaksi ini bisa mengantarkan kedua belah pihak pada permusuhan dan perselisihan ketika terjadinya musibah. Dimana masing-masing pihak berusaha melimpahkan kerugian kepada pihak lain. Perselisihan tersebut bisa berujung ke pengadilan.
  4. Asuransi ini termasuk jenis perjudian, karena salahsatu pihak membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung-untungan atau tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan ia berhak mendapatkan semua harta yang dijanjikan, tapi jika tidak maka ia tidak akan mendapatkan apapun.

Melihat keempat hal di atas, dapat dikatakan bahwa transaksi dalam asuransi yang selama ini kita kenal, belum sesuai dengan transaksi yang dikenal dalam fiqh Islam. Asuransi syari'ah dengan prinsip ta'awunnya, dapat diterima oleh masyarakat dan berkembang cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini. Asuransi syariah dengan perjanjian di awal yang jelas dan transparan dengan aqad yang sesuai syariah, dimana dana-dana dan premi asuransi yang terkumpul (disebut juga dengan dana tabarru') akan dikelola secara profesional oleh perusahaan asuransi syariah melalui investasi syar'i dengan berlandaskan prinsip syariah.Dan pada akhirnya semua dana yang dikelola tersebut (dana tabarru') nantinya akan dipergunakan untuk menghadapi dan mengantisipasi terjadinya musibah/bencana/klaim yang terjadi diantara peserta asuransi. Melalui asuransi syari'ah, kita mempersiapkan diri secara finansial dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip transaksi yang sesuai dengan fiqh Islam. Jadi tidak ada keraguan untuk berasuransi syari'ah.
 Secara finansial, sistem asuransi syariah memungkinkan perolehan (manfaat) yang lebih baik. Bersamaan dengan itu, semangat solidaritas pun dipupuk melalui iuran kebajikan (tabarru’) peserta asuransi. Sistem tabarru’ dan bagi hasil (mudharabah) yang ditetapkan dalam pola operasional asuransi syariah mengharuskan adanya transparansi di dalam status dana dan pengelolaannya. Demikian pula dalam hal kontribusi biaya pengelolaan, yang disisihkan sedikit dari premi tahun pertama saja, ditetapkan dengan jelas dan menjadi bagian dari kesepakatan peserta. Oleh karena itu sejak awal peserta mengetahui denga jelas komponen premi yang disetorkannya, yaitu tabarru’ (iuran kabajikan), tabungan (hak mutlak peserta), dan kontribusi biaya pengelolaan (30% premi tahun pertama).
Selain itu, peserta dapat melihat perkembangan dari waktu ke waktu perkembangan nilai tunai polisnya, yakni akumulasi tabungan dan bagi hasilnya. Oleh karenanya ketika peserta bermaksud mengundurkan diri dalam masa perjanjian karena sesuatu hal, nilai tunai yang dapat diterimanya dapat dihitung nilainya dan jelas sumbernya (berasal dari tabungan dan bagi hasilnya). Demikian pula halnya klaim meninggal yang diterima oleh ahli waris peserta, terdiri dari manfaat asuransi atau santunan kebajikan (bersumber dari tabarru- tabarru’ peserta), tabungan yang sudah disetorkan dan bagi hasil tabungannya itu. Dalam hal investasi, selain pertimbangan profitabilitas, kesesuaian usaha dengan ketentuan syariah merupakan faktor penentu keputusan investasi. Oleh karena itu peran Dewan Pengawas Syariah menjadi sangat penting di dalam dinamika pengembangan usaha asuransi syariah, hal yang tidak ditemukan di dalam asuransi konvensional.





[1] Istilah ini digunakan pada abad 20-an untuk asuransi Islam. Lihat Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), “The Principle of Takaful (Collective Responsibility) in Islam and Its Practice in the Operation of Syarikat Takaful Malaysia Berhad”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 17, 2003, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, h. 40. Untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang akad al-ta’min ini dan hal-hal yang berkait dengannya, lihat ‘Abd al-Haq Humaisy dan al-Husein Syawat (2001), Fiqh al-‘Uqud al-Maliyyah. ‘Amman (Jordan): Dar al-Bayariq, hh. 124-138.
[2] Ibrahim Anis et al. (t.t.), al-Mu‘jam al-Wasit, juz. 2. Kairo: T.P., h. 793.
[3] Mohd. Ma’sum Billah (2003a), Islamic and Modern Insurance, Principles and Practices. Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, h. 19; Idem (2003c), Shari’ah Standard of Quantum of Damages in Insurance. Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, h. 23.  
[4] Saiful Azhar Rosly (2005), Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets. Kuala Lumpur: Dinamas Publishing, h. 487.
[5] Afzalur Rahman (1979), Economics Doctrines of Islam, Banking and Insurance, Vol. 4. London: The Muslim Schools Trust London, h. 78.
[6] Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 34.
[7] Mohd. Ma’sum Billah (2003b), Islamic Insurance (Takaful). Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, h. 1; Muhammad Nejatullah Siddiqi (1981), Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature. Leicester: The Islamic Foundation, h. 27; Mohammad Muslehudin (1978), Insurance and Islamic Law. Lahore: Islamic Publication Limited, Diterjemahkan oleh Izuddin Hj. Mohamed (1989), Insuran dan Hukum Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, h. 117; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 41; Chaudhry Mohamad Sadiq (1995), “Islamic Insurance (Takafol): Concept and Practice” dalam Encyclopaedia of Islamic Banking and Insurance. London: Institute of Islamic Banking and Insurance, h. 198; Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes (1998), Islamic Law and Finance. The Hague: Kluwer Law International, h. 150.
[8] Nik Norzrul Thani et al. (2003), Law and Practice of Islamic Banking and Finance. Petaling Jaya: Sweet and Maxweel Asia, h. 153; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 4.
[9] Chaudhry Mohamad Sadiq (1995), op.cit., h. 198; Mohd Fadzli Yusof (1996), Takaful: Sistem Insurans Islam. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd, hh. 11-13; Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes (1998), op.cit., hh. 151-152.
[10] Joni Tamkin bin Borhan (2002), “The Framework and Practice of Islamic Insurance in Malaysia”, dalam AL-JAMI‘AH Journal of Islamic Studies, Vol. 40, No. 1, Januari-Juni 2002, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, hh. 64-65.
[11] Mohd. Ma’sum Billah (2003b), op.cit., h. 1; Muhammad Nejatullah Siddiqi (1981), op.cit., h. 27; Mohammad Muslehudin (1978), op.cit., h. 117; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 41; Joni Tamkin bin Borhan (2002), op.cit., h. 62.
[12] Ibn al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Husayni al-Jurjani (2000), al-Ta‘rifat, cet. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, h. 164. Lihat penjelasan lebih lanjut dalam Sami al-Suwailem (2000), “Towards an Objective Measure of Gharar in Exchange” dalam Islamic Economic Studies, Vol. 7, No. 1 dan 2, Oktober 1999 dan April 2000, hh. 64-66.
[13] Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzur (1954), Lisan al-‘Arab, juz. 4. Kaherah: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, h. 314; al-Fiyruzabadi (1983), al-Qamus al-Muhit, juz. 2. Beirut: Dar al-Fikr, hh. 99-100; Saiful Azhar Rosly (2005), op.cit., h. 70.
[14] Misalnya lihat Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd (1988), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, juz. 2. Beirut: Dar al-Qalam, h. 147; Abu Zakariyya Muhyi al-Din bin Syaraf al-Nawawi (t.t), Majmu‘ Syarh al-Muhadhdhab, juz. 9. Beirut: Dar al-Fikr, h. 257; Nabil A. Saleh (1986), Unlawful Gain and Legitimate Profit in Islamic Law. Cambridge: Cambridge University Press, h. 52.
[15] Saiful Azhar Rosly (2005), op.cit., h. 485.
[16] Afzalur Rahman (1979), op.cit., Vol. 4, h. 136; Ahmad al-Sa‘id Syaraf al-Din (1982), ‘Uqud al-Ta’min wa ‘Uqud Daman al-Istithmar. TTP: T.P, hh. 142-165.
[17] al-Imam ‘Ala’ al-Din Abu Bakr Ibn Mas‘ud al-Kasani (t.t), Bada’i‘ al-Sana’i‘  fi Tartib al-Syara’i‘, juz, 5. Beirut: Matba‘ah al-‘Asimah, h. 138 dan 209; ‘Abd al-Rahman al- Jaziri (t.t.), Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba‘ah, juz. 2, Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, h. 241 dst; Nayla Comair Obeid (1996), The Law of Bussiness Contracts in the Arab Middle East. London: Kluwer Law International, hh. 22-28.
[18] Lihat kriteria gharar dalam kaitannya dengan objek kontrak pada bab 2.
[19] Ab Mumin Ab Ghani (1999), op.cit., h. 345; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 43; Husain Hamid Hasan (1996), Asuransi dalam Hukum Islam. Jakarta: C.V. Firdaus, hh. 43-47.
[20] Ibrahim Anis et al. (t.t.), op.cit., juz. 2, h. 1064.
[21] Ahmad Hidayat Buang (2000), Studies in The Islamic Law of Contracts: The Prohibition of Gharar. Kuala Lumpur: International Law Book Services, h. 38; Sami al-Suwailem (2000), “Towards an Objective Measure of Gharar in Exchange” dalam Islamic Economic Studies, Vol. 7, No. 1 dan 2, Oktober 1999 dan April 2000, h. 79.
[22] Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh. 115-116.
[23] Ab Mumin Ab Ghani (1999), op.cit., h. 346; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 44; Husain Hamid Hasan (1996), op.cit., hh. 72-74; Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh. 122-123; Ahmad al-Sa‘id Syaraf al-Din (1982), op.cit., hh. 190-192.
[24] Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh. 124 dan 208.
[25] Ibid., h. 210.
[26] Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh. 113-210; Ab Mumin Ab Ghani (1999), op.cit., h. 346; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 44; Husain Hamid Hasan (1996), op.cit., hh. 75-76; Ahmad al-Sa‘id Syaraf al-Din (1982), op.cit., hh. 206-207.
[27] Lihat selengkapnya dalam Mohd. Ma’sum Billah (2003d), op.cit., hh. 42-57; Mohd. Ma’sum Billah (2003d), “Development and Principles of Takaful in the Islamic Economy” dalam Islamic Law of Trade and Finance A Selected Issues. Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, hh. 149-156.