Minggu, 18 Desember 2011

Hukuman Pidana Mati Bagi koruptor

Pendahuluan

Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatankejahatan berat dengan pidana mati. Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan dipelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidaksama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut diatas.

Dengan adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar kejahatan-kejahatan yang berat dapat dibasmi, dicegah atau dikurangkan, ternyata merupakan harapan hampa belaka.

Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-kejahatan lain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan. Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung dan penentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.

    Pidana mati ini pun menjai salah satu harapan yang muncul di masyarakat untuk mengatasi masalah korupsi. Munculnya wacana hukuman pidana mati bagi para koruptor tidak terlepas dari tingga tingkat korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara. Dari kasus Bank Century, Wisma atlet, sampai kasus Pajak yang dikorupsi hal ini menyebabkan kerugian negara yang tidak sedikit jumlahnya. Maka untuk memberikan efek jera kepada para koruptor maka hukuman pidana mati dianggap sebagai salah satu solusi yang cocok utuk memberikan efek jera bagi koruptor.


Pembahasan

a.    Pengertian Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption sama seperti penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :  Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Selain itu terdapat pengertian korupsi dalam undang-undang antara lain :
Dalam Undang undang nomor 3 Tahun 1971 pengertian korupsi tertuang dalam pasal 1 ayat 1 a dan b yang berbunyi
1.a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
       b. barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Sementara itu dalam undang-undang nomor 31tahun 1999 definisi korupsi tertuang dalam pasal 2 ayat 1 dan 3 yang berbunyi :

Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dari pengertian-pengertian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan terutama yang berkenaan dengan unsur-unsur korupsi antara lain :
•    Perbuatan Melawan Hukum
•    Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
•    Menyalahgunakan wewenang
•    Menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara

b.    Hukuman Pidana Mati Di Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya hukuman mati atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan mengenai macam-macam bentuk pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dan pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.
Peraturan perundang-undang yang lain yang ada di Indonesia, juga banyak yang mencantumkan ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang.
Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah  :
1.    Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2.    Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika
             permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
3.    Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4.     Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang
              direncanakan dan berakibat maut)
5.    Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6.    Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
7.    Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
8.     Pasal444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).

Namun perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah  pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sehingga mereka menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten
Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman. Karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara significan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati. Hingga tahun lalu telah 129 negara yang menghapuskan hukuman mati dari sistem hukumnya, terdiri dari 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati. Hingga saat ini tingal 68 negara yang masih belum memberlakukan penghapusan hukuman mati, termasuk Indonesia.
Mengenai hak asasi manusia (HAM), di Indonesia juga melindunginya dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang ini mengenai hak hidup tercantum dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, secara sekilas pasal ini tidak jauh dengan ketentuan pasal 28A UUD 1945 yang tersebut di atas. Namun jika teliti lagi, dalam penjelasan pasal ini menyatakan :
“setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.”
Dari penjelasan tersebut dapat kita garis bawahi pada kalimat “…berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan…” sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam keadaan tersebut hak untuk hidup dapat dihilangkan. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.
Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Namun demikian, instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali mela¬rang pidana mati melainkan membatasi penerapannya.
Hal itu dalam konteks Indonesia dikukuhkan dalam Pu¬tusan MK No 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, mau¬pun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi me¬rupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 ta¬hun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sem¬buh.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru), pidana mati  masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan. Pengaturan pidana mati dalam Rancangan KUHP diatur dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 89.
c.    Hukuman Pidana Mati bagi Koruptor
Korupsi adalah penyakit yang sulit untuk diberantas. Adanya aturan hukum yang keras tidak menjadikan seorang koruptor menjadi takut untuk melakukan korupsi. Korupsi tidak saja berkait dengan masalah hukum murni semata, tetapi juga menyangkut masalah moral. etika, serta budaya walau hal ini masih dalam taraf perdebatan. Korupsi dan penerapaan sanksi hukum menarik untuk dikaji setidaknya disebabkan oleh beberapa Hal: pertama, bahwa korupsi menjadi penghambat dari pembangunan yang dilaksanakan. Dengan terjadinya korupsi maka terjadi pula ekonomi biaya tinggi. Kedua, terkait dengan terjadinya korupsi, maka pelaksanaan aturan hukum yang berusaha menjerat para koruptor juga telah memberikan ancaman yang berat, berupa penjatuhan sanksi pidana mati. Akan tetapi dalam konteks pelaksanaan ancaman tersebut amat jarang dijatuhkan sebagai sanksi pidana. Apakah dengan hal tersebut menjadikan pelaku korupsi semakin bebas berbuat?

     Dalam hal terjadinya perbuatan korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman pidana mati sesuai ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Hanya pelaksanaan dari ketentuan pidana ini tidak bersifat mengikat secara hukum, karena adanya kata "dapat". Kata tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa pelaku pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati, bukan pelaku pidana dijatuhi hukuman mati.Pelaksanaan hukuman mati pada hakikatnya memberikan faktor jera bagi pelaku serta memberikan pendidikan bagi pihak lain untuk berbuat hal yang sama. Jika pasal tersebut memberikan kata "dapat", maka putusan diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkan pilihan pidana terhadap pelaku pidana korupsi. Penjatuhan pidana mati bagi pelaku korupsi tentu dikaitkan dengan Hak asasi Manusia atas hidup dan kehidupan. Keengganan hakim untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku pidana korupsi berkait dengan hak yang diterima oleh pelaku kejahatan. Penjatuhan pidana mati ditolak karena pidana mati berkait dengan hidup mati seseorang, bagi kaum moralis hal ini berkait dengan hak Tuhan untuk menentukan kematian seseorang. Tentu kematian seseorang merupakan hak Tuhan, akan tetapi hak manusia untuk menjatuhkan pidana mati merupakan hak yang diberikan Tuhan kepada manusia. Artinya menjatuhkan sanksi tersebut bukan karena kesewenangan, melainkan hak yang diberikan Tuhan dengan sebuah kewenangan hukum. Dengan demikian tidak melanggar hak manusia itu sendiri.
Banyak negara yang mulai menghapuskan sanksi mati dalam hukum pidananya, akan tetapi bagi Indonesia hal ini masih perlu untuk dipertahankan. Pidana mati tentunya bersifat paling akhir, tetapi melihat perbuatan korupsi tidak saja merugikan pihak secara individual, maka pidana mati masih logis untuk duipertahankan. Penjatuhan pidana mati tentu tidak saja bersifat memberikan efek jera, tetapi dengan dampak koorupsi yang bersifat menggurita karena menimbulkan gangguan secara ekonomi terhadap keuangan negara, maka hakim harus mulai berfikir alternatif mati sebagai sanksi pidana.
Selain permasalahan penjatuhan pidana mati permasalahan lain yang muncul adalah bahwa pidana korupsi harus diartikan sebagai adanya keuangan negara yang dirugikan (Pasal 2 ayat 1). Jika keuangan negara tidak dirugikan, maka undang-undang ini akan sulit untuk diterapkan. Dengan demikian pelaku kejahatan keuangan yang merugikan keuangan perusahaan tidaklah dapat diartikan merugikan keuangan negara. Tampaknya kita juga harus berfikir dan berpaling pada Pasal 12 UU No.7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2003. Dalam Pasal 12 tersebut dijelaskan bahwa Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum internalnya untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta,meningkatkan standar akuntansidan audit di sektor swasta, jika dipandang perlu memberikan sanksi perdata, adminitratif, atau pidana yang efektif, proporsional dan bersifat larangan bagi yang tidak mematuhi tindakan tindakan tersebut. Penerapan delik korupsi dalam UU ini sebagai sesuatu yang maju, walau akan menimbulkan perdebatan hukum, mengingat pada UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mensyaratkan adanya kerugian negara yang timbul.
Kesimpulan
Pidana mati merupakan salah satu hukuman bagi koruptor hal ini sebagai mana tercantum dalam undang-undang namun karena hukuman ini hanya bersifat hukuman pilihan maka sangat jarang digunakan sebagai tuntutan bagi pelaku korupsi. Namun  apabila hal ini dipandang sebagai salah satu cara untuk membasmi korupsi maka perlu ada permulaan dan realisasi dari hukuman pidana mati bagi koruptor.
Penutup
Sekian makalah ini kami sampaikan semoga bisa memberikan tambahan pengetahuan bagi kita semua terutama dalam bidang hukum pidana terutama yang berkaitan dengan hukuman pidana mati bagi koruptor

Sumber

  • http://dalangkoruptor.blogsidak.com/2011/03/01/pengertian-korupsi/ diakses pada 14 november 2011 pukul 20.15
  •  Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia  Syahruddin Husein S,H
  •  http://hmibecak.wordpress.com/2007/06/14/problemetika-pidana-mati-di-indonesia/ Diakses 7 Desember 2011 pukul 23.15 
  • http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=140&Itemid=140

POSBAKUM ( Pos Bantuan Hukum )




Pengetahuan masyarakat terhadap hukum di Indonesia bisa dikategorikan rendah. Terutama bagi rakyat miskin. Sehingga terkadang ketika terjerat sebuah perkara mereka menghadapinya sendiri tanpa ada bantuan dari kuasa hukum. Namun dalam UUD 1945 pasal 28 D (1) menyatakan dengan tegas bahwasetiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jaminan negara ini kemudian dijabarkan dalam berbagai Undang-Undang dan peraturan yang berkaitan dengan akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan.

Masyarakat yang tidak mampu dan awam hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan sering kali dihadapkan pada aturan dan bahasa hukum yang kadang terkesan kaku dan prosedural. Baik dalam tahapan litigasi maupun non litigasi semuanya harus dilakukan sesuai dengan aturan hukum itu sendiri atau jika tidak permohonan atau gugatan yang diajukan akan ditolak pengadilan padahal bisa jadi hanya karena tidak memenuhi aspek prosedural hukum.

Maka atas dasar pertimbangan itulah kemudian dibentuk Undang-Undang yang mengatur tentang POSBAKUM ( Pos Bantuan Hukum ) bagi rakyat kecil yang tidak mampu. Undang-undang yang mengatur tentang POSBAKUM antara lain Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 dan Undang-undang nomor 50 Tahun 2009. Dalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009 pasal 56 dan 57 menyatakan bahwa :
Pasal 56
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
Pasal 57
(1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.

(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1),diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.

Hal ini kemudian dikuatkan dengan Undang-undang nomor 50 Tahun 2009 yaitu pada pasal 60 C yang berbunyi:
Pasal 60C
(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan



Untuk menindaklanjuti perintah undang-undang tersebut Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan surat Edaran yang mengatur tentang POSBAKUM serta tata cara pelaksanaanya. Dalam surat edaran ini terdapat tiga lampiran. Lampiran A tentang POSBAKUM serta tata cara pemberian bantuan pada Pengadilan Negeri, Lampiran B tentang POSBAKUM serta tata cara pemberian bantuan pada Pengadilan Agama , dan lampiran C  tentang POSBAKUM serta tata cara pemberian bantuan pada Pengadialan Tata Usaha Negara. Dan yang kami bahas adalah lampiran B yaitu dari pasal 16 sampai Pasal 31. Isi dari pasal-pasal tersebut antara lain :

Pasal 16
Pembentukan Pos Bantuan Hukum
(1) Pada setiap Pengadilan Agama dibentuk Pos Bantuan Hukum.
(2) Pembentukan Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama dilakukan secara bertahap.
(3) Pengadilan Agama menyediakan dan mengelola ruangan dan sarana serta prasarana untuk Pos Bantuan Hukum sesuai kemampuan.

Pasal 17
Jenis Jasa Hukum Dalam Pos Bantuan Hukum
(1) Jenis jasa hukum yang diberikan oleh Pos Bantuan Hukum berupa pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan surat gugatan/permohonan.
(2) Jenis jasa hukum seperti pada ayat (1) di atas dapat diberikan kepada
penggugat/pemohon dan tergugat/termohon.
(3) Pemberian jasa hukum kepada penggugat/pemohon dan tergugat/termohon tidak boleh dilakukan oleh satu orang pemberi bantuan hukum yang sama.

Pasal 18
Pemberi Jasa Di Pos Bantuan Hukum
(1) Pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum adalah:
a. Advokat;
b. Sarjana Hukum; dan
c. Sarjana Syari’ah.
(2) Pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum berasal dari organisasi bantuan hukum dari unsur Asosiasi Profesi Advokat, Perguruan Tinggi, dan LSM (Lembaga SwadayaMasyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(3) Pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum dapat diberi imbalan jasa oleh negara melalui DIPA Pengadilan Agama.
(4) Pemberi jasa yang akan bertugas di Pos Bantuan Hukum ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama melalui kerjasama kelembagaan dengan organisasi profesi advokat, organisasi bantuan hukum dari unsur Perguruan Tinggi, dan oganisasi bantuan hukum dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pasal 19
Penerima Jasa Pos Bantuan Hukum
Yang berhak menerima jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah orang yang tidak mampu
membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang disabilitas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai penggugat/permohon maupun tergugat/termohon.


Pasal 20
Syarat-Syarat Memperoleh Jasa Dari Pos Bantuan Hukum
Syarat untuk mengajukan permohonan pemberian jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah
dengan melampirkan:
a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh KepalaDesa/ Lurah/ Banjar/Nagari/Gampong; atau
b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin(KKM), Kartu Jaminan kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT); atau
c. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Agama.

Pasal 21
Imbalan Jasa Bantuan Hukum
(1) Besarnya imbalan jasa didasarkan pada lamanya waktu yang digunakan oleh
pemberi jasa bantuan hukum dalam memberikan layanan, bukan pada jumlah
penerima jasa yang telah dilayani.
(2) Ketentuan besarnya imbalan jasa ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama sesuai
dengan ketentuan mengenai standar biaya yang berlaku.
(3) Panitera Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran, berdasarkan ayat (2) di atas,
membuat Surat Keputusan bahwa imbalan jasa bantuan hukum tersebut
dibebankan kepada DIPA pengadilan dan selanjutnya menyerahkan Surat
Keputusan tersebut kepada Bendahara Pengeluaran sebagai dasar pembayaran.
(4) Bendahara pengeluaran membayar imbalan jasa bantuan hukum dengan
persetujuan Kuasa Pengguna Anggaran.

Pasal 22
Mekanisme Pemberian Jasa Pos Bantuan Hukum
(1) Pemohon jasa bantuan hukum mengajukan permohonan kepada Pos Bantuan
Hukum dengan mengisi formulir yang telah disediakan.
(2) Permohonan seperti pada ayat (1) dilampiri:
a. Fotocopy Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dengan memperlihatkan
aslinya; atau
b. Fotocopy Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya dengan memperlihatkan
aslinya; atau
c. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat.
(3) Pemohon yang sudah mengisi formulir dan melampirkan SKTM dapat langsung
diberikan jasa layanan bantuan hukum berupa pemberian informasi, advis,
konsultasi dan pembuatan gugatan/permohonan.
Pasal 23
Mekanisme Pengawasan dan Pertanggung Jawaban
(1) Pengawasan Pos Bantuan Hukum dilakukan oleh Ketua Pengadilan bersama-sama
dengan organisasi penyedia jasa bantuan hukum.
(2) Ketua Pengadilan Agama bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemberian
bantuan hukum.
(3) Panitera Pengadilan Agama membuat buku registrasi khusus untuk mengontrol
pelaksanaan pemberian bantuan hukum.
(4) Pemberi bantuan hukum wajib memberikan laporan tertulis kepada Ketua
Pengadilan Agama tentang telah diberikannya bantuan hukum dengan melampirkan
bukti-bukti sebagai berikut:
a. Formulir permohonan dan foto kopi Surat Keterangan Tidak Mampu atau
Surat Keterangan Tunjanngan Sosial lainnya, jika ada; dan
b. Pernyataan telah diberikannya bantuan hukum yang ditandatangani oleh pihak
pemberi dan penerima bantuan hukum.
(5) Kuasa Pengguna Anggaran menyimpan seluruh bukti pengeluaran anggaran sesuai
ketentuan.
(6) Bendahara pengeluaran melakukan pembukuan setiap transaksi keuangan untuk
penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum sesuai ketentuan.
(7) Panitera/Sekretaris melaporkan pelaksanaan pos bantuan hukum melalui SMS
Gateway dan laporan lainnya sesuai ketentuan.

BAB V
TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
DALAM PERKARA JINAYAT
POS BANTUAN HUKUM

Pasal 24
Sarana dan Prasarana
Selain menyediakan ruangan untuk Pos Bantuan Hukum sebagaimana tercantum pada
pasal 16 pedoman ini, Mahkamah Syar’iyah juga menyediakan dan mengelola ruangan
untuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Ruang Tahanan.

Pasal 25
Jenis Jasa Hukum Dalam Pos Bantuan Hukum
(1) Jasa bantuan hukum yang dapat diberikan oleh Pos Bantuan Hukum kepada
Tersangka/Terdakwa berupa pemberian informasi, konsultasi dan advis serta
penyediaan Advokat Pendamping secara cuma-cuma untuk membela kepentingan
Tersangka/Terdakwa dalam hal Terdakwa tidak mampu membiayai sendiri
Penasihat Hukumnya.
(2) Bantuan penyediaan Advokat secara cuma-cuma hanya diberikan terhadap perkara
yang telah dlimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) ke Mahkamah Syar’iyah.

Pasal 26
Pemberi Jasa di Pos Bantuan Hukum
(1) Pemberi Jasa di Pos Bantuan Hukum adalah:
a. Advokat;
b. Sarjana Hukum; dan
c. Sarjana Syari’ah.
(2) Pemberi jasa bantuan hukum berasal dari organisasi bantuan hukum dari unsur
Asosiasi Profesi Advokat, Perguruan Tinggi, dan LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM.
(3) Khusus untuk pendampingan Terdakwa di persidangan, pemberi jasa bantuan
hukum adalah Advokat.
(4) Pemberi Jasa Bantuan Hukum dapat diberi imbalan jasa oleh Negara melalui DIPA
Mahkamah Syar’iyah.
(5) Pemberi jasa yang akan bertugas di Pos Bantuan Hukum ditunjuk oleh Ketua
Mahkamah Syar’iyah melalui kerjasama kelembagaan dengan Organisasi Profesi
Advokat dan organsasi bantuan hukum dari unsur Perguruan Tinggi dan LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
Pasal 27
Penerima Jasa Bantuan Hukum
Yang berhak mendapatkan jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah orang yang tidak
mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang
disabilitas, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai Terdakwa
maupun Tersangka.
Pasal 28
Syarat-Syarat Memperoleh Jasa Dari Pos Bantuan Hukum
Syarat untuk mengajukan permohonan pemberian jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah
dengan melampirkan:
a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala
Desa/Lurah/Banjar/Nagari/Gampong; atau
b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM),
Kartu Jaminan kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga
Harapan (PKH), dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT); atau
c. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan
ditandatangani oleh Pemohon bantuan hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan
Mahkamah Syar’iyah.
Pasal 29
Imbalan Jasa Bantuan Hukum
(1) Besarnya imbalan jasa untuk pemberian informasi, konsultasi dan advis didasarkan
pada lamanya waktu yang digunakan oleh pemberi jasa bantuan hukum dalam
memberikan layanan, bukan pada jumlah penerima jasa yang telah dilayani.
(2) Besarnya imbalan jasa untuk pendampingan dalam persidangan didasarkan pada
jumlah perkara.
(3) Ketentuan besarnya imbalan jasa ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah sesuai
dengan ketentuan mengenai standar biaya yang berlaku.
(4) Panitera Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran, berdasarkan ayat (3) di atas,
membuat Surat Keputusan bahwa imbalan jasa bantuan hukum tersebut
dibebankan kepada DIPA pengadilan dan selanjutnya menyerahkan Surat
Keputusan tersebut kepada Bendahara Pengeluaran sebagai dasar pembayaran.
(5) Bendahara pengeluaran membayar imbalan jasa bantuan hukum dengan persetujuan
Kuasa Pengguna Anggaran.
Pasal 30
Mekanisme Pemberian Jasa Bantuan Hukum
(1) Pemohon jasa bantuan hukum (Tersangka/Terdakwa) mengajukan permohonan
kepada Pos Bantuan Hukum dengan mengisi formulir yang telah disediakan.
(2) Permohonan seperti pada ayat (1) dilampiri:
a. Fotocopy Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dengan memperlihatkan
aslinya; atau
b. Fotocopy Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya dengan memperlihatkan
aslinya; atau
c. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat.
(3) Pemohon jasa bantuan hukum yang sudah mengisi formulir dan melampirkan
SKTM dapat langsung diberikan jasa layanan bantuan hukum berupa pemberian
informasi, konsultasi dan advis.
(4) Pemohon jasa bantuan hukum yang memerlukan jasa pendampingan dalam
persidangan dapat diberikan bantuan pendampingan oleh seorang Advokat setelah
berkas perkaranya dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum ke Mahkamah
Syar’iyah.
(5) Ketua Mahkamah syar’iyah menunjuk advokat untuk mendampingi Terdakwa di
persidangan.

Pasal 31
Mekanisme Pengawasan dan Pertanggung Jawaban
(1) Pengawasan Pos bantuan Hukum dilakukan oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah
bersama-sama dengan organisasi penyedia jasa bantuan hukum.
(2) Ketua Mahkamah Syar’iyah bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemberian
bantuan hukum.
(3) Panitera Mahkamah Syar’iyah membuat buku registrasi khusus untuk mengontrol
pelaksanaan pemberian bantuan hukum.
(4) Pemberi bantuan hukum wajib memberikan laporan tertulis kepada Ketua
Mahkamah Syar’iyah tentang telah diberikannya bantuan hukum dengan
melampirkan bukti-bukti sebagai berikut :
a. Formulir permohonan dan fotocopy SKTM atau Surat Keterangan Tunjanngan
Sosial lainnya, jika ada; dan
b. Pernyataan telah diberikannya bantuan hukum yang ditandatangani oleh pihak
pemberi dan penerima bantuan hukum.
(5) Kuasa Pengguna Anggaran menyimpan seluruh bukti pengeluaran anggaran sesuai
ketentuan.
(6) Bendahara pengeluaran melakukan pembukuan setiap transaksi keuangan untuk
penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum sesuai ketentuan.
(7) Panitera/Sekretaris melaporkan pelaksanaan pos bantuan hukum melalui SMS
Gateway dan laporan lainnya sesuai ketentuan.


Referensi
•    Undang-Undang Dasar 1945
•    Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
•    Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
•    Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010

ANALISIS DARI SUDUT KONSEP KESALAHAN DAN PERBUATAN PIDANA TERHADAP KASUR KORUPSI MUHAMMAD NAZARUDDIN

Abstrak

Nama Muhammad mulai banyak diperbicangankan ketika dirinya dituduh terlibat dalam kasus suap Sesmenpora Wafid Muharram. Nazaruddin dituduh menjadi aktor dibalik kasus ini sebagaimana disampaikan Kamarudin Simanjuntak yang merupakan kuasa hukum dari salah seorang tersangka Mindo Rosalina Manulang. Menurut Kamarudin Simanjuntak kliennya hanya disuruh oleh salah seorang anggota Parpol yang kemudian diketahui adalah Muhammad Nazaruddin.  Walaupun sempat berkelit dan beberapa kali melontarkan pembantahan namun akhirnya Nazaruddin bisa ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus ini. Namun naas sehari sebelum ditetepkan sebagai tersangka Nazaruddin berhasil melarikan diri keluar negeri dengan alasan pemeriksaan kesehatan

Pada saat kasus ini mencuat Nazaruddin merupakan bendahara umum dari Partai yang berkuasa saat ini yaitu partai Demokrat. Kasus ini secara tidak langsung membuat pamor dan citra partai Demokrat turun di masyarakat. Menilik latar belakang seorang Muhammad Nazaruddin ternyata sebelum terjerat kasus ini Nazaruddin pernah menjadi tersangka kasus pemalsuan dokumen.Hal itu diduga dilakukannya agar perusahaan miliknya, PT Anugerah Nusantara memenuhi persyaratan mengikuti proyek tender pengadaan di Departemen Perindustrian yang nilainya sekitar Rp100 miliar.Kasus Ini terjadi pada tahun 2005 dan Nazaruddin sempat diperiksa di Polda Metro Jaya. Namun entah kenapa tiba-tiba keluar SP-3 terhadap kasus ini . Selain itu salah kasus yang sempat hangat diperbincangkan yang terkait dengan Nazaruddin adalah kasus percobaan penyuapan yang dilakukan Nazaruddin terhad Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, Janedjri M Gaffar. Kasus ini langsung diungkapkan oleh ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. Nazaruddin dalam kasus ini memberikan amplop yang berisi sejumlah uang kepada Sekjen MK tanpa ada alasan yang jelas. Itulah beberapa kasus yang melibatkan Muhammad Nazaruddin

Setelah ditetapkan menjadi tersangka Muhammad Nazaruddin justru menghilang dan sulit untuk kembali ke Indonesia. Kemudian Nazaruddin menjadi salah seorang buronan Interpool. Pada akhirnya pria kelahiran 26 Agustus 1978 tertangkap di Kolumbia. Sempat melanglang buana ke beberapa negara seperti Singapura dan Malaysia Nazaruddi akhirnya tertangkap di Kolumbia. Nazaruddin tertanggkap pada tanggal 7 agustus 2011 di Bogota Kolumbia . Sebelum tertangkap Nazaruddin sempat membeberkan bebarapa kasus terutama yang berkenaan dengan Kongres Partai Demokrat dan juga tuduhannya terhadap rekayasa kasus yang dilakukan oleh KPK.




Pembahasan

a.    Pengertian Korupsi

Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption sama seperti penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :  Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Selain itu terdapat pengertian korupsi dalam undang-undang antara lain :
Dalam Undang undang nomor 3 Tahun 1971 pengertian korupsi tertuang dalam pasal 1 ayat 1 a dan b yang berbunyi
1.a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
       b. barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Sementara itu dalam undang-undang nomor 31tahun 1999 definisi korupsi tertuang dalam pasal 2 ayat 1 dan 3 yang berbunyi :

Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).


Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dari pengertian-pengertian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan terutama yang berkenaan dengan unsur-unsur korupsi antara lain :
•    Perbuatan Melawan Hukum
•    Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
•    Menyalahgunakan wewenang
•    Menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara


b.    Pengertian Perbuatan Pidana dan Kesalahan

Perbuatan pidana adalah adalah kelakukan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan (van Hamel). Jadi perbuatan pidana adalah kelakuan dan akibat dari suatu hal ikhwal kejahatan dan pelanggaran.   Selain itu terdapat pula unsur pidana dalam perbuatan pidana yaitu  :
1. Perbuatan itu berujud suatu kelakuan (baik aktif maupun pasif)     yang berakibat timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.
2.Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum (baik hukum itu dalam pengertiannya yang formal/tertulis maupun dalam pengertian material/tidak tertulis.
3.Adanya hal-hal/ keadaan tertentu yang menyertai terjadinya     kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum, baik yang berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana dan tempat  terjadinya perbuatan pidana.

Sedangkan Pengertian Kesalahan adalah Kesalahan dalam arti luas dapat disamakan dengan “pertanggung jawaban dalam hukum pidana”. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ahli :


1. Menurut Mezger
Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk     adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana.

2. Menurut Simons
Kesalahan adalah adanya keadaan psikis tertentu pada orang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara     keadaan psikis dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa hingga orang dapat dicela kerana melakukan perbuatan tadi.

3. Menurut van Hamel
Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis,     perhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya, dengan kata lain kesalahan adalah pertanggung jawaban dalam hukum (Schuld is de verent-woordelijkheid).

     4. Menurut Pompe
Pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahan, biasanya     sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang     berhubungan dengan kehendak pelaku adalah kesalahan.
Kesalahan dapat dilihat dari dua sudut:
a. Dari akibatnya, kesalahan adalah yang dapat dicela (verwijbaar)
b. Dari hekekatnya, kesalahan adalah hal yang dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid).

    5. Menurut Moeljatno
Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika  pada waktu dia melakukan perbuatan pidana. Dilihat dari segi masyarakat dapat dicela mengapa dia melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya seharusnya dia dapat menghindari perbuatan tersebut. Perbuatan itu memang sengaja dilakukan, padahal dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan masyarakat. Kecuali orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana, tetapi karena tidak sengaja, karena alpa atau lalai kewajiban yang oleh masyarakat dipandang seharusnya (sepatutnya) dijalankan olehnya.

Analisis

Untuk mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan oleh Muhammad Nazaruddin merupakan sebuah tindak pidana korupsi dan apakah perbuatan tersebut dapat dikatakan termasuk perbuatan pidan dan mempunyai kesalahan maka harus diadakan analisis.

a.    Analisa apakah perbuatan Nazaruddin merupakan tindak pidana korupsi?
Dalam menentukan apakah seseorang melakukan tindak pidan korupsi maka kita harus melihat apakah perbuatan orang tersebut memenuhi unsur-unsur perbuatan yang dapat dikatan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi. Sebagaimana kita ketahui dari pembahasan  diatas unsur-unsur dari tindak pidana korupsi adalah :
•    Perbuatan Melawan Hukum
•    Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
•    Menyalahgunakan wewenang
•    Menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara

Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Nazaruddi adalah dia menjadi perantara dalam kasus ini yang menghubungkan antara sesmenpora wafid muharram dan PT PT DGI (Duta Graha Indah) sebagai partner dalam tender wisma atlet sea Games melalui perantara Mindo Rosalina Manulang. Dalam beberapa pertemuan antara Nazaruddin, Wafid Muharram dan Mindo Rosalina Manulang diperoleh kesepakatan bahwa PT DGI akan menjadi salah satu rekanan yang akan terlibat dalam pembangunan wisma atlet dan Mindo Rosalina Manulang menjadi pengawas dalam hal ini.

Nazaruddin yang saat itu duduk sebagai salah seorang anggota badan anggaran DPR RI juga menjanjikan bahwa PT DGI akan menjadi salah satu rekanan yang akan menjadi menjadi pelaksana proyek dan mengarahkan untuk mengurus ke daerah karena proyek tersebut merupakan tanggung jawab Pemprov Sumatera Selatan. Dan dari apa yang dia lakukan Nazaruddin menerima sejumlah uang dan sampai tertanggkap Nazaruddi telah menerima Rp4,43 miliar. Cek tersebut diberikan pada Februari 2011 di kantor PT Anak Negeri (Kantor Permai Grup) yang diterima oleh dua staf keuangannya yaitu Yulianis dan Oktarina Furi.

Sedangkan unsur yang kedua adalah memperkaya diri sendiri telah jelas bahwa dalam memerankan perannya Nazaruddin menerima sejumlah imbalan. Namun besarnya imbalan yang dia terima baru sekitar Rp.4,43 miliar.

Unsur ketiga yaitu menyalah gunakan wewenang sebagai anggota DPR RI yang duduk di badan anggaran Nazaruddin justru menjadi otak dalam permainan anggaran yaitu dengan menentukan pihak-pihak yang akan menjadi pelaksana tender namun pihak yang ditunjuk harus memberikan sejumlah uang kepadanya sebagai imbalan atas jasanya tersebut.

Dan Unsur yang terakhir yaitu menimbulkan kerugian negara hal ini bisa kita lihat jelas apabila sebuah tender atau proyek yang seharusnya bernilai Rp 1 Triliun kemudian dikurangi dengan imbalan terima kasih sebesar 10 % yaitu sebesar Rp.100 Miliar maka tender tersebut tidak akan maksimal bahkan akan cenderung asal-asalan. Sebagai contoh nyata banyak jalan-jalan yang dibangun dengan dana yang besar namun hanya bertahan beberapa tahun bahkan ada yang hanya dalam hitungan beberapa bulan. Sehingga menimbulkan terjadinya kerugian dalam keuangan negara

Dari semua unsur dalam korupsi telah terbukti dan jelas dilkukan oleh Nazaruddin sehingga perbuatan yang dilakukan olehnya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi


b.    Analisa apakah perbuatan Muhammad Nazaruddin dapat diketegorikan sebagai perbuatan pidana dan kesalahan

Perbuatan pidana adalah adalah kelakukan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan (van Hamel). Jika kita teliti pengertian dari perbuatan pidana maka apa yang diakukan oleh Nazaruddin telah memenuhi pengertian tersebut. Perbuatan yang dilakukan oleh Nazaruddin sudah dirumuskan dalam Undang-undang baik dalam undang nomor 3 tahun 1971 maupun undang-undang nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang nomor 20 Tahun 2001.Selain itu perbuatan yang dilakukan oleh Nazaruddin juga bersifat melawan hukum sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas serta patut untuk dipidana.

Dan untuk menentukan apakah ada kesalahan yang dilakukan oleh Nazaruddin maka kita coba lihat pengertian dari kesalahan itu sendiri Menurut Moeljatno Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika  pada waktu dia melakukan perbuatan pidana. Dilihat dari segi masyarakat dapat dicela mengapa dia melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya seharusnya dia dapat menghindari perbuatan tersebut. Perbuatan itu memang sengaja dilakukan, padahal dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan masyarakat. Kecuali orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana, tetapi karena tidak sengaja, karena alpa atau lalai kewajiban yang oleh masyarakat dipandang seharusnya (sepatutnya) dijalankan olehnya.

Jika melihat pengertian diatas maka Nazaruddi dapat dipastikan mempunyai kesalahan karena dia secara pasti telah mengetahui kerugian yang akan timbul dari perbuatannya dan dilakukan secara sengaja. Kami dapat mengatakan bahwa Nazaruddin secara pasti mengetahui kerugian yang akan timbul karena pada saat terjadinya kasus ini dia menjabat sebagai anggota komisi III DPR RI yang bertugas dalam bidang hukum. Secara otomatis sia mengetahui bahwa apa yang dia lakukan sebenarnya bertentanggan dengan undang-undang serta melawan hukum dan akan merugikan negara namun dia sengaja melakukan perbuatan ini untuk memperoleh keuntungan dan memperkaya dirinya sendiri

Kesimpulan

Dari pembahasan dan analisa diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Muhammad Nazaruddin merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan mempunyai kesalahan.


Penutup

Dalam teori hukum pidana tradisonal dikenal istilah mala in se dan mala pohibita yang kemudian dalam hukum pidana modern dikenal dengan istilah wetsdelicten dan rechtsdelicten dan hemat kami korupsi merupakan perbuatan pidana yang termasuk dalam mala in se atau rechtsdelicten yang sebenarnya tanpa memerlukan undang-undang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang sifat melawan hukumnya telah diketahui.

Harapan kami dengan sedikit tulisan kami dapat memberikan sedikit pengetahui bagi kita semua umumnya dalam bidang hukum pidana dan khususnya dalam tindak pidana korupsi

Referensi

•    VIVAnews.com, Kamis 28 April 2011.
•    http://dalangkoruptor.blogsidak.com/2011/03/01/pengertian-korupsi/
•    Hand Out mata kuliah Hukum Pidana
•    Okezone.com rabu 13 Juli 2011
•    Undang undang nomor 3 Tahun 1971
•    Undang undang nomor 31 Tahun 1999
•    Undang undang nomor 20 Tahun 2001
•    Kelsen,Hans Teori umum tentang Hukum dan Negara Nusa media Bandung 2008

Kamis, 15 Desember 2011

review pelajaran 2

HUKUM TATA NEGARA

Good Governance adalah sebuah bentuk ideal dari mekanisme, tata cara, peranan pemerintah yang baik. Menurut Katheren Michael(Bank dunia untuk governance&socilty untuk Asia Timur), kualitas dari suatu pemerintahan yang baik adalah mampu memberantas dan mengentaskan kemiskinan rakyatnya dan menjamin keadilan bagi rakyatnya.

Ada dua komponen yang mempengaruhi good Governace, yaitu :
  1. Rakyat yang bertanggung jawab, aktif, dan memiliki kesadaran
  2. Pemerintah yang mau mendengarkan, terbuka, tanggap, dan melibatkan diri dalam segala persoalan
Keberhasilan suatu pemerintah dalam mencapai Good Governance apabila kedua komponen tersebut saling mendukung dan saling memlengkapi, dengan kunci utama adalah saling percaya (trust). Namun, pada kenyataannya pemerintahan kita belum mampu mencapai Good Governance. Karena Pemerintah belum mampu memberantas kemiskinan yang tersebar diseluruh Indonesia dan belum mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Salah satu penyebab kemiskinan semakin meraja-lela dinegara kita ini adalah KORUPSI yang dilakukan oleh sejumlah oknum. Seperti yang telah dilansir oleh Transparancy Internasional Indonesia, negara Indonesia menempati urutan ke-13 dari 146 negara terkorup di dunia.

Indikator paling buruk yang terjadi karena korupsi adalah adanya diskomunikasi antara :
  • Pemerintah dengan Pemerintah ( governance to governance)
  • Pemerintah dengan Rakyat (governance to people)
  • Rakyat dengan Rakyat ( People to people)

Rabu, 14 Desember 2011

review pelajaran


Huft malas kali menulis…mata nie dah ngantuk kayanya…tapi klo ga nulis harus nyoba lagi dari awal…mau ga mau harus nulis…hmmmmm kira2 nulis apa ea?????hmmmmm gimana klo tentang pelajaran z yg td di ajarkan….hari ini, hari rabu jadwalnya hukum pidana sama asuransi syari’ah…seingatQ ( tanpa buKa buku nie ea…!!) Makul Hukum Pidana tadi membicarakan Tindak Pidana Kesusilaan, yang pertama dibahas itu tentang aturan dari pasal 282 KUHP (klo ga salah nie ea….hmmm mikirny lama nie) mengenai larangan seseorang yang melanggar aturan kesusilaan dengan sengaja didepan umum dikenai pidana kurungan selama maksimal 2 tahun dan denda 4500 rupiah. Nah, bapaknya tadi ngasih contoh tentang ini, yang termasuk dalam pidana init uh adalah apabila ada seorang perempuan yang dengan sengaja membuka atau menanggalkan pakaiannya dimuka umum, maka bisa dikenakan pidana tersebut.
Trus selain itu, tindak pidana tersebut jg dapat disanksikan kepada org yang melakukan pelanggaran terhadap aturan asusila di dalam ruangan tertutup ( dlm artian dilukis atau di fhoto atau divideo) kemudian apa yang dilakukannya tersebut bisa/dapat dilihat org lain. Habis itu tentang tindak pidana perzinahan yang disebut juga overspel, seseorang itu dapat dikenakan tindak pidana perzinaan apabila dilakukan oleh seorang laki2 yang sudah menikah bergaul dengan seorang perempuan yang sudah menikah tetapi mereka bukan dalam satu ikatan pernikahan (pasangan selingkuh), atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang laki2 yg belum menikah menggauli seorang wanita yg telah menikah, atau sebaliknya. Tindak pidana tersebut hanya dapat diberikan atau ditindak lanjuti apabila adanya suatu pengaduan baik dari pihak suami ataupun dari pihak istri.
Hmmmm terus ada juga masalah pemerkosaan atau disebut juga dengan verkrechting yang diatur dalam pasal 285 sampe 288 KUHP, nah di pasal 297 tu diatur mengenai perdagangan manusia alias trafficking ( klo ga slah sie tulisannya gitu ),,klo menurut analisis masalah itu td dikelas, manusia itu ga bisa di jadikan objek hukum, karena manusia itu termasuk dalam bagian orang perorang atau badan hukum alis subjeknya hukum….
Laen lagi mata kuliah asuransi syaria’ah…tadi bapaknya menjelaskan pake alat peraga banyak banget…. Yang bikin mencengangkan tu bapaknya ternyata mengikuti banyak banget asuransi, mulai dari asuransi jiwa, kesehatan, pendidikan anak, sampe mobil… ada juga yg berinvestasi lewat asuransi…wajar sie,, kan bapaknya bisa dibilang pakar atau ahli disana… yang jelas tadi itu bapaknya menjelaskan lebih lanjut masalah pertanyaan yang aQ ajukan tempo hari,,,pertanyaanQ adalah perbedaan mendasar antara asuransi jiwa dan asuransi kesehatan…bapaknya menjawab bahwasanya perbedaan tersebut ada pada pembayaran premi yang lebih mahal di asuransi kesehatan ketimbang di asuransi jiwa…alasannya adalah kalo asuransi jiwa itu hanya menangani masalh yang bersangkutan dgn kecelakaan, misalnya saja meninggal, kecelakaan, cacat akibat kecelakaan, dsb. Nah yg berhak mendapatkan keseluruhan uang premi tsb adalah ahli waris. Orang yang sengaja bunuh diri , bisa dikatakan dananya hangus karena bukan termasuk persyaratan pemerimaan uang premi.
Trus klo asuransi kesehatan itu kenapa lebih mahal???karena asuransi kesehatan itu mengacu pada kelangsungan hidup seseorang guna menghindari dari berbagai macam penyakit termasuk didalamnya 33 macam penyakit kronis. Namanya juga sakit ga kan pernah kita duga kapan datangnya, nah oleh dari itu…asuransi kesehatan itu fungsinya sebagai jaminan apabila terserang penyakit,,,orang yang ingin mengikuti asuransi ini adalah orang yang maksimal berumur 55 thn. Dan ketika mengikuti asuransi ini, harus mengatakan sejujur2ny tentang kondisi yang sedang dialami, apabila tidak jujur dan dikemudian hari diketahui bahwa orang tersebut berbohong, maka perjanjian asuransi yang dilakukan dianggap batal demi hukum. Segitu z dulu…besok sambung lagi…
Yogyakarta, 14 desember 2011

Rabu, 26 Oktober 2011

RATIONALE, LANDASAN, DAN JUSTIFIKASI TERHADAP ASURANSI SYARIAH




1. Rationale Asuransi Syariah

Asuransi konvensional merupakan termasuk akad yang mengandung unsur gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian) karena masing-masing dari kedua belah pihak yang bertransaksi tidak mengetahui (pada saat mereka melakukan akad) ukuran atau nilai yang akan mereka berikan atau yang akan mereka peroleh secara pasti. Bisa jadi insured baru membayar premi satu kali kemudian terjadi kecelakaan maka dengan demikian ia berhak mendapatkan imbalan dari pihak insurer sesuai dengan kontrak, dan bisa jadi pula insured membayar semua premi tapi tidak mendapat imbalan materi apapun karena tidak terjadi kecelakaan.

Oleh karena itu Islam sebagai agama yang lengkap dan rahmatan lil-‘alamin menawarkan konsep asuransi Islam yang adil bagi kedua-dua pihak yaitu dengan menerapkan konsep takaful. Istilah yang pada mulanya digunakan adalah al-ta’min,[1] akan tetapi kemudian yang lebih populer adalah kata takaful. Kata dasar dari takaful ialah kafala yang berarti menjamin, menjaga atau memelihara.[2] Sedangkan takaful (bentuk masdar) berasal dari kata kerja takafala yang berarti saling menjamin, saling menjaga dan saling memelihara (dengan tujuan meringankan beban), guaranteeing each other.[3] Tujuan penggunaan istilah takaful adalah untuk memberikan signikansi bahwa kontrak asuransi dalam takaful berdasarkan atau menerapkan elemen-elemen keislaman.[4]

Pada dasarnya, secara substansial takaful mempunyai persamaan tujuan dengan asuransi konvensional yaitu merupakan instrumen untuk membantu golongan yang tidak bernasib baik kerana ditimpa musibah.[5] Dengan kata lain, takaful maupun asuransi konvensional bertujuan untuk saling membantu untuk memikul musibah yang mungkin akan menimpa sebagian mereka atau meringankan kerugian sebagian anggota. Asuransi konvensional merupakan suatu cara modern untuk memindahkan risiko yang mungkin terjadi dari insured kepada insurer dengan mekanisme transaksi yang tertentu, sedangkan takaful juga merupakan cara modern untuk saling membantu berdasarkan Syariah dengan menerapkan konsep saling membantu (takaful) untuk memikul musibah yang mungkin akan menimpa sebagian dari anggota yang menyertai takaful atau meringankan kerugian sebagian anggota.[6]

Walaupun secara substansial takaful dan asuransi konvensional mempunyai persamaan tujuan, akan tetapi terdapat perbedaan fundamental yang menjadikan asuransi konvensional bertentangan dengan Syariah (dilarang) dan takaful sesuai Syariah (dibolehkan), yaitu karena transaksi dalam asuransi konvensional terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan Syari‘ah, yaitu adanya unsur riba, gharar, dan maysir, sehingga menjadikan asuransi konvensional bertentangan dengan Syari‘ah.[7] Sedangkan asuransi Islam yang berasaskan takaful menawarkan konsep asuransi yang bebas dari unsur-unsur terlarang tersebut.[8] 

Takaful merupakan sistem asuransi Islam yang berasaskan prinsip muamalah Islam. Konsep, instrumen dan mekanisme yang diterapkan dalam takaful berbeda dengan asuransi konvensional. Konsep takaful bisa menggambarkan suatu mekanisme asuransi yang berasaskan pada hubungan persaudaraan, rasa saling tangung jawab dan saling bekerjasama di kalangan peserta takaful. Konsep dasar yang digunakan adalah asas saling menjamin antar peserta yang mengikuti takaful.[9] Jadi, takaful ini berbeda dengan asuransi konvensional yang berasaskan pemindahan resiko kepada pihak lain. Resiko dalam takaful bukan dipindahkan kepada pihak lain, tetapi ditanggung bersama di antara kalangan peserta yang mengikuti takaful. Oleh karena itu semua peserta dikenakan iuran sumbangan takaful yang disebut tabarru‘ yang merupakan sumbangan khairat (kebajikan). Untuk memudahkan memanaj dana tabarru‘ itu maka perlulah dibentuk perusahaan takaful yang mengendalikan dana tabarru‘ itu secara profesional. Jika terjadi kecelakaan atau kerugian yang menimpa salah satu peserta takaful, setiap peserta bersetuju untuk membantu peserta yang mengalami musibah itu.[10]

2. Elemen Riba, Gharar, dan Maysir dalam Kontrak Asuransi Konvensional

Asuransi konvensional bertentangan dengan Syariah karena dalam transaksinya mengandung unsur-unsur yang dilarang oleh Syariah yaitu unsur gharar, maysir dan riba.[11] Penjelasan terhadap adanya unsur-unsur tersebut dalam transaksi asuransi konvensional adalah sebagai berikut:

A. Gharar

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab 2, bahwa gharar adalah segala transaksi yang tidak jelas (ghairu ma‘lum/unknown) dalam hal-hal khususnya atau tidak jelas hasil atau konsekuensinya (majhul ‘aqibah).[12] Gharar merupakan suatu perbuatan penipuan atau muslihat dan memberikan penderitaan dengan kebatilan atau kebohongan (batil) yang bertentangan dengan kebenaran (haq).[13] Dengan demikian satu pihak mendapat keuntungan sementara pihak yang lain tidak menerimanya. Gharar terjadi karena: (1) kurangnya informasi (baik berkaitan dengan sifat, spesifikasi, harga, waktu penyerahan) tentang objek kontrak pada pihak yang berkontrak, dan (2) objek kontrak tidak ada.[14] Transaksi yang mengandung unsur gharar dapat menimbulkan perselisihan, karena barang yang diperjualbelikan tidak diketahui dengan baik, sehingga sangat dimungkinkan terjadi penipuan.

Kontrak asuransi konvensional mengandung unsur gharar kerana apabila tidak berlaku tuntutan, satu pihak (perusahaan asuransi) akan mendapat semua keuntungan (premium) sementara satu pihak lagi (peserta) tidak mendapat keuntungan apa pun.[15] Bahkan dalam penentuan jumlah premium pun juga mengandung unsur gharar karena cara penentuannya berdasarkan resiko, padahal masing-masing pihak tidak mengetahui dengan pasti limit atau tingkat resiko serta tanggung jawab dan kewajiban masing-masing. Masing-masing pihak tidak tahu apakah ia nanti dapat musibah atau tidak.[16]

Di samping itu, kontrak asuransi konvensional mengandung elemen gharar kerana pada dasarnya transaksi dalam asuransi konvensional merupakan kontrak jual beli. Dalam Islam, suatu kontrak jual beli harus memenuhi syarat dan rukun jual beli. Rukun jual beli adalah sebagai berikut:
1.    Sighah kontrak yang terdiri dari ijab dan qabul (sighah).
2.    Pihak-pihak yang melakukan kontrak yaitu mereka yang membuat ijab dan qabul (al-‘aqidani).
3.    Harga (al-Thaman).
4.    Objek kontrak (ma‘qud ‘alaih), yaitu benda atau hak yang dijadikan objek pada suatu kontrak. Syarat-syarat objek kontrak adalah sebagai berikut:
a.    Secara prinsipil bersifat legal dan berharga dalam Islam, bukan sesuatu yang diharamkan.
b.    Objek kontrak haruslah dispesifikasikan dan didefinisikan secara jelas baik jenis ataupun ukurannya untuk menghindari ketidakpastian, kebingungan, atau ambiguitas.
c.    Objek kontrak harus dimiliki dan eksis, untuk menghindari spekulasi.
d.   Objek kontrak harus betul-betul dimiliki penjual dan dapat diserahkan pada waktu yang ditetapkan sesuai kesepakatan. [17]

Sementara itu, dalam kontrak asuransi konvensional, ma‘qud ‘alayh (objek kontrak) tidak jelas (sebagaimana tersebut dalam kriteria gharar yang berkait dengan objek kontrak),[18] yaitu:
a.    Tidak diketahui dengan jelas apakah insured akan mendapat atau tidak bayaran yang dijanjikan.
b.    Tidak diketahui dengan pasti jumlah bayaran yang akan diterima
c.    Tidak diketahui dengan pasti kapan waktu menerima bayaran.[19]
Dengan demikian, kontrak asuransi konvensional mengandung unsur gharar yang menjadikan transaksi tersebut tidak dapat dibenarkan dari sisi hukum Islam.

B. Maysir (Judi)

Para ulama menyatakan bahawa maysir dan gharar mempunyai kaitan yang amat rapat. Ini bererti jika sesuatu transaksi itu mengandungi unsur gharar maka dengan sendirinya unsur judi turut ada. Ini karena maysir pada masa kemudiannya dimaknai oleh para ulama mengikut makna literalnya yaitu sering dipersamakan dengan qimar[20] atau mukhatara yang bermakna spekulasi atau perjudian dan taruhan.[21] Prinsip  perjudian adalah, seseorang apakah akan mendapat bagian banyak, sedikit atau bahkan tidak dapat bagian sama sekali semata-mata tergantung pada keberuntungan, dan ketidakjujuran juga menjadi bagian bagian utama dalam transaksi ini.[22]

Dalam kontrak asuransi konvensional mengandung unsur maysir (judi) karena[23]:
a.         Peserta membayar premium yang kecil dengan mengharapkan uang yang lebih besar jumlahnya.
b.        Peserta akan kehilangan uang premium apabila peristiwa yang dilindungi (the insured event) tidak berlaku khususnya dalam asuransi jiwa dan asuransi umum.
c.         Perusahaan asuransi akan rugi jika terpaksa membayar tuntutan yang melebihi jumlah premium yang diterima.

Dengan demikian, asuransi konvensional mengandung unsur perjudian, karena salah satu pihak membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung-untungan atau tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan, peserta berhak mendapatkan semua harta yang dijanjikan tapi jika tidak maka akibatnya akan merugikannya.[24] Dengan demikian, nyatalah bahwa unsur perjudian terdapat dalam transaksi asuransi ini, dan maslahat masing-masing pihak justeru tegak di atas bencana pihak yang lain, perusahaan asuransi maslahatnya terletak pada apa yang ia dapatkan ketika tidak terjadi kecelakaan, dan maslahat peserta asuransi muncul ketika peristiwa yang dilindungi (the insured event) betul-betul berlaku.

C. Riba

Unsur riba dalam bisnis asuransi terdapat dalam beberapa aspek, yaitu di antaranya mulai dalam hal perhitungan jumlah premium sampai pembayaran kompensasi pada pihak yang mengalami kecelakaan. Unsur riba juga terdapat dalam kontrak pinjaman dari polis (policy loan) yang ditawarkan kepada peserta dalam produk asuransi jiwa seumur hidup. Dalam transaksi pinjaman ini, perusahaan asuransi akan mengenakan bunga (interest) kepada peserta yang meminjam. Bunga yang dikenakan terhadap pinjaman tersebut merupakan salah satu bentuk riba yang dilarang oleh Islam.[25]

Elemen riba juga terdapat dalam praktek pencarian keuntungan dalam investasi oleh perusahaan asurasni dengan menggunakan dana dari kumpulan premium peserta. Ini kerana dana-dana dari kumpulan premium peserta, kebanyakan diinvestasikan dalam instrumen keuangan yang menerapkan elemen riba dalam aktivitasnya.[26]

2. Landasan Hukum Asuransi Islam[27]

Asuransi Islam merupakan suatu kontrak saling melindungi antara sesama peserta, di mana terdapat unsur saling tolong-menolong di antara mereka untuk tujuan kebaikan. Kontrak semacam ini dibenarkan oleh Allah, sesuai firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kamu saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”. (Terjemahan Q.S. Al-Ma’idah (5): 2)

Islam juga mengakui bahwa meringankan beban yang ditanggung oleh orang mukmin yang kesusahan adalah suatu perbuatan mulia dan akan mendapatkan balasannya yang baik di akhirat kelak. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barangsiapa meringankan satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia seorang mukmin, maka Allah akan meringankan kesusahannya di hari kiamat, dan barangsiapa memudahkan/membantu orang yang kesulitan maka Allah akan memudahkan baginya (urusannya) di dunia dan akhirat”. (H.R. Muslim).

Islam juga memerintahkan berdirinya sebuah masyarakat yang tegak diatas dasar saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling-menguatkan sebagian kepada sebagian yang lain. Dalam model asuransi Islam, tidak ada perbuatan memakan harta manusia dengan cara batil, karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata sedekah dari hasil harta yang dikumpulkan. Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ (رواه البخاري
“Seorang mukmin terhadap sesama mukmin bagaikan satu bangunan, sebagiannya mengokohkan bagian yang lain, lalu Nabi menggenggamkan jarinya”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis lain juga disebutkan:

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى (رواه مسلم
Kedudukan hubungan persaudaraan dan perasaan orang-orang yang beriman antara satu sama lain seperti satu tubuh, jika satu dari anggota badannya tidak sehat, maka memperngaruhi seluruh badannya. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Islam juga menghendaki agar keturunan dari kaum muslimin itu dalam kondisi berkecukupan, tidak menjadi beban bagi manusia lain. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Dari Sa‘ad bin Abi Waqas r.a., berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau meninggalkan anakmu dalam keadaan berkecukupan itu lebih baik daripada engkau meninggalkannya dalam kondisi miskin yang meminta batuan orang lain”. (H.R. Bukhari).

Islam juga sangat menganjurkan untuk melindungi kesejahteraan orang yang lemah seperti janda dan orang miskin dengan suatu perumpamaan jihad fi sabilillah. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Dari Safwan bin Salim r.a Nabi bersabda: “Orang yang bekerja untuk janda dan orang miskin itu laksana orang yang berjihad fi sabililah atau seperti orang yang berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari…” (H.R. Bukhari).

Kontrak asuransi merupakan suatu instrumen kemudahan hidup yang menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih nyaman dan aman. Allah menghendaki agar hamba-hamba-Nya hidup dalam kemudahan dan kenyamanan tanpa menghadapi kesulitan. Allah berfirman:

“Allah menghendaki kemudahan untuk kamu sekalian dan tidak tidak menghendaki kesusahan (kesulitan) bagi kamu sekalian”. (Terjemahan Q.S. al-Baqarah (2): 185).

Allah juga menyarankan kepada hamba-hamba-Nya untuk mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat, sebagaimana Allah mengajari hamba-hambaNya untuk berdoa sebagaimana dalam firman-Nya:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Ya Allah Tuhan kami, berikanlah kebaikan didunia dan kebaikan di akhirat”. (Terjemahan Q.S. al-Baqarah (2): 201).

Justifikasi Terhadap Asuransi Jiwa dalam Islam

Further grounds for the justification of a life insurance policy are as follows: 
1) A life insurance policy is similar to a contract of al-wadiah (deposit) whereby two parties in a financial transaction engage in an agreement that one party deposits money as an amanah (trust) to the other party to be kept for the purpose of safety.[76] A Wadiah is justified by the Qur’anic injunction where Allah (SWT) commanded people to fulfill the trust (of, inter alia, wadiah). Allah (SWT) ordains to the effect:
"Allah (SWT) commands you to render back your trusts to those to whom they are due..."[77]
2) A life policy is a financial transaction which had been dealt with by the people before Islam under the doctrine of ‘al-Aqilah as a ‘Urf (custom) which had been accepted by the Holy Prophet (SAW) whereby the people of every tribe used to deposit money for a certain amount in order to pay blood money as a compensation on behalf of the killer of their own tribe to the heirs of the victim of other tribe. Such ‘Urf (custom) was deemed to bring benefit to society. A custom which is beneficial to society is permissible in Islam as justified by the saying of the Holy Prophet (SAW):
"Whatever Muslims see good, it is good in the eyes of Allah (SWT)"[78]
A life insurance policy is based on the sanction of mutual cooperation so as the doctrine of aqila practice was also based on mutual cooperation, therefore, Zarqa and Alwan accepted the idea that there is enormous similarity between insurance and aqila in the sense of cooperation.[79]
3) Every transaction is originaacceptable, unless it involves unlawful elements. Relying on this principle, it is admitted here that in a life insurance policy the elements contained are in line with the Shari’ah principles (the life insurance policy which is based on the Islamic model), and therefore it is undoubtedly lawful.
4) A life insurance policy is for the purpose of sustaining public interest. For example, the purpose of a life insurance policy is to protect the orphans, widows, and other dependents of the assured from future material risk and thus, it is a transaction to be justified by the doctrine of masaleh al-mursalah (public interest). A transaction which is in the public interest is lawful, because it eliminates hardship and assists a comfortable life for human beings which in line with the Qur’anic injunction:
"...Allah (SWT) intends every facilities (inter alia comfortable life) for you; He does not want to put you to difficulties..."[80]
5) A life insurance is not a gain or hoping for a chance, but it is a policy for providing compensation for damage or loss. This is because the policy is an agreement between the insurer and the assured that, once the assured dies within the policy period, the insurer will pay an amount of money in consideration of paid-premiums to the beneficiary(s) of the assured. Such a payment is like a compensation for the loss of opportunity of future earning by the breadwinner (assured) due to his death. To provide such compensation is like a mutual cooperation which is commanded by Allah (SWT).
"... Cooperate one another in righteousness and piety..."[81]
6) A life insurance policy is similar to a retirement pension scheme. Al-Zarqa and al-Alwan apparently discovered that all contemporary scholars agreed on the validity of retirement pension scheme.[82] Adil Salahi similarly acknowledged that “All scholars and seats of Islamic learning approved of the concept of pension because it gives the subscriber security for himself and his Family in the difficult circumstances of his leaving work or in case of death.” [83] Mr. Salahi relying on his acknowledgement poses the question: “Why should Family security be lawful in one system and not in the other when the method of operation is practically the same?[84] Relying on the above justifications it is admitted here that life insurance is like a retirement pension scheme (which had been widely introduced during the period of Saidana Omar (r.a) therefore, it is not unlawful transaction.
7) A life insurance policy is also justified based on the principle of necessity (Darurah). For example, it is an important task for the guardian to work for the welfare of his own dependents. It is in line with the tradition of the Holy Prophet (SAW) where he said to the effect:
"...It is better for you to leave your off-spring wealthy than to leave them poor, asking others for help..."[85]
It is also to be noted here that in the case of necessity that which is prohibited is also to be permitted in the Islamic discipline as Ibn Nawjeem stated in his book al-Asba Wan-Nazaira, 
"Necessity permits an unlawful act."[86]
A life insurance policy of course does not allow for an unlawful transaction, but why not, the principle of necessity allows it to be permissible.
8) A life insurance contract is a binding promise. In the light of Islamic jurisprudence, a promise either unilateral or bilateral, is in both situations binding as ordained in the Holy Qur’an:
"O ye who believe? Fulfil all agreements"[87]
According to Imam Malik (r.a), the founder of the Maliki school of law, every binding promise is lawful, therefore, every insurance contract contains a binding promise and thus it is lawful. In other words, in a life insurance contract, there is an agreement between the assured and the insurer which is a binding promise towards the protection of widows, orphans and so on, from future material risk, and therefore such a binding promise makes a insurance contract valid.
9) A life insurance contract evolves elements of donation. This is because the assured pays regular premiums for the protection of his (beneficiary(s); such payments of premium is like a donation for helpless people. Moreover, once the insurer pays an amount of money together with an additional amount from the charitable fund to the beneficiary(s) of the assured in consideration of the paid premiums this also involves element of donation. A donation is lawful in the Islamic jurisprudence as justified by the practices of the Prophet (SAW):
"The Prophet (SAW) used to accept presents (donation)"[88]
Relying on the above authenticity, it is analytically admitted here that a life insurance policy does involve elements of donation and therefore, such a policy is to be held lawful in the eyes of the Islamic discipline.

Kenapa harus Asuransi Syariah?
Asuransi yang selama ini digunakan oleh mayoritas masyarakat (non syariah) bukan merupakan asuransi yang dikenal oleh para pendahulu dari kalangan ahli fiqh, karena tidak termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam, dan tidak pula dari kalangan para sahabat yang membahas hukumnya. Perbedaan pendapat tentang asuransi tersebut disebabkan oleh perbedaan ilmu dan ijtihad mereka. Alasannya antara lain :

  1. Pada transaksi asuransi tersebut terdapat jahalah (ketidaktahuan) dan ghoror (ketidakpastian), dimana tidak diketahui siapa yang akan mendapatkan keuntungan atau kerugian pada saat berakhirnya periode asuransi.
  2. Di dalamnya terdapat riba atau syubhat riba. Hal ini akan lebih jelas dalam asuransi jiwa, dimana seseorang yang memberi polis asuransi membayar sejumlah kecil dana/premi dengan harapan mendapatkan uang yang lebih banyak dimasa yang akan datang, namun bisa saja dia tidak mendapatkannya. Jadi pada hakekatnya transaksi ini adalah tukar menukar uang, dan dengan adanya tambahan dari uang yang dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba, baik riba fadl dan riba nasi'ah.
  3. Transaksi ini bisa mengantarkan kedua belah pihak pada permusuhan dan perselisihan ketika terjadinya musibah. Dimana masing-masing pihak berusaha melimpahkan kerugian kepada pihak lain. Perselisihan tersebut bisa berujung ke pengadilan.
  4. Asuransi ini termasuk jenis perjudian, karena salahsatu pihak membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung-untungan atau tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan ia berhak mendapatkan semua harta yang dijanjikan, tapi jika tidak maka ia tidak akan mendapatkan apapun.

Melihat keempat hal di atas, dapat dikatakan bahwa transaksi dalam asuransi yang selama ini kita kenal, belum sesuai dengan transaksi yang dikenal dalam fiqh Islam. Asuransi syari'ah dengan prinsip ta'awunnya, dapat diterima oleh masyarakat dan berkembang cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini. Asuransi syariah dengan perjanjian di awal yang jelas dan transparan dengan aqad yang sesuai syariah, dimana dana-dana dan premi asuransi yang terkumpul (disebut juga dengan dana tabarru') akan dikelola secara profesional oleh perusahaan asuransi syariah melalui investasi syar'i dengan berlandaskan prinsip syariah.Dan pada akhirnya semua dana yang dikelola tersebut (dana tabarru') nantinya akan dipergunakan untuk menghadapi dan mengantisipasi terjadinya musibah/bencana/klaim yang terjadi diantara peserta asuransi. Melalui asuransi syari'ah, kita mempersiapkan diri secara finansial dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip transaksi yang sesuai dengan fiqh Islam. Jadi tidak ada keraguan untuk berasuransi syari'ah.
 Secara finansial, sistem asuransi syariah memungkinkan perolehan (manfaat) yang lebih baik. Bersamaan dengan itu, semangat solidaritas pun dipupuk melalui iuran kebajikan (tabarru’) peserta asuransi. Sistem tabarru’ dan bagi hasil (mudharabah) yang ditetapkan dalam pola operasional asuransi syariah mengharuskan adanya transparansi di dalam status dana dan pengelolaannya. Demikian pula dalam hal kontribusi biaya pengelolaan, yang disisihkan sedikit dari premi tahun pertama saja, ditetapkan dengan jelas dan menjadi bagian dari kesepakatan peserta. Oleh karena itu sejak awal peserta mengetahui denga jelas komponen premi yang disetorkannya, yaitu tabarru’ (iuran kabajikan), tabungan (hak mutlak peserta), dan kontribusi biaya pengelolaan (30% premi tahun pertama).
Selain itu, peserta dapat melihat perkembangan dari waktu ke waktu perkembangan nilai tunai polisnya, yakni akumulasi tabungan dan bagi hasilnya. Oleh karenanya ketika peserta bermaksud mengundurkan diri dalam masa perjanjian karena sesuatu hal, nilai tunai yang dapat diterimanya dapat dihitung nilainya dan jelas sumbernya (berasal dari tabungan dan bagi hasilnya). Demikian pula halnya klaim meninggal yang diterima oleh ahli waris peserta, terdiri dari manfaat asuransi atau santunan kebajikan (bersumber dari tabarru- tabarru’ peserta), tabungan yang sudah disetorkan dan bagi hasil tabungannya itu. Dalam hal investasi, selain pertimbangan profitabilitas, kesesuaian usaha dengan ketentuan syariah merupakan faktor penentu keputusan investasi. Oleh karena itu peran Dewan Pengawas Syariah menjadi sangat penting di dalam dinamika pengembangan usaha asuransi syariah, hal yang tidak ditemukan di dalam asuransi konvensional.





[1] Istilah ini digunakan pada abad 20-an untuk asuransi Islam. Lihat Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), “The Principle of Takaful (Collective Responsibility) in Islam and Its Practice in the Operation of Syarikat Takaful Malaysia Berhad”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 17, 2003, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya, h. 40. Untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang akad al-ta’min ini dan hal-hal yang berkait dengannya, lihat ‘Abd al-Haq Humaisy dan al-Husein Syawat (2001), Fiqh al-‘Uqud al-Maliyyah. ‘Amman (Jordan): Dar al-Bayariq, hh. 124-138.
[2] Ibrahim Anis et al. (t.t.), al-Mu‘jam al-Wasit, juz. 2. Kairo: T.P., h. 793.
[3] Mohd. Ma’sum Billah (2003a), Islamic and Modern Insurance, Principles and Practices. Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, h. 19; Idem (2003c), Shari’ah Standard of Quantum of Damages in Insurance. Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, h. 23.  
[4] Saiful Azhar Rosly (2005), Critical Issues on Islamic Banking and Financial Markets. Kuala Lumpur: Dinamas Publishing, h. 487.
[5] Afzalur Rahman (1979), Economics Doctrines of Islam, Banking and Insurance, Vol. 4. London: The Muslim Schools Trust London, h. 78.
[6] Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 34.
[7] Mohd. Ma’sum Billah (2003b), Islamic Insurance (Takaful). Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, h. 1; Muhammad Nejatullah Siddiqi (1981), Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature. Leicester: The Islamic Foundation, h. 27; Mohammad Muslehudin (1978), Insurance and Islamic Law. Lahore: Islamic Publication Limited, Diterjemahkan oleh Izuddin Hj. Mohamed (1989), Insuran dan Hukum Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, h. 117; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 41; Chaudhry Mohamad Sadiq (1995), “Islamic Insurance (Takafol): Concept and Practice” dalam Encyclopaedia of Islamic Banking and Insurance. London: Institute of Islamic Banking and Insurance, h. 198; Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes (1998), Islamic Law and Finance. The Hague: Kluwer Law International, h. 150.
[8] Nik Norzrul Thani et al. (2003), Law and Practice of Islamic Banking and Finance. Petaling Jaya: Sweet and Maxweel Asia, h. 153; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 4.
[9] Chaudhry Mohamad Sadiq (1995), op.cit., h. 198; Mohd Fadzli Yusof (1996), Takaful: Sistem Insurans Islam. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd, hh. 11-13; Frank E. Vogel dan Samuel L. Hayes (1998), op.cit., hh. 151-152.
[10] Joni Tamkin bin Borhan (2002), “The Framework and Practice of Islamic Insurance in Malaysia”, dalam AL-JAMI‘AH Journal of Islamic Studies, Vol. 40, No. 1, Januari-Juni 2002, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, hh. 64-65.
[11] Mohd. Ma’sum Billah (2003b), op.cit., h. 1; Muhammad Nejatullah Siddiqi (1981), op.cit., h. 27; Mohammad Muslehudin (1978), op.cit., h. 117; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 41; Joni Tamkin bin Borhan (2002), op.cit., h. 62.
[12] Ibn al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Husayni al-Jurjani (2000), al-Ta‘rifat, cet. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, h. 164. Lihat penjelasan lebih lanjut dalam Sami al-Suwailem (2000), “Towards an Objective Measure of Gharar in Exchange” dalam Islamic Economic Studies, Vol. 7, No. 1 dan 2, Oktober 1999 dan April 2000, hh. 64-66.
[13] Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzur (1954), Lisan al-‘Arab, juz. 4. Kaherah: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, h. 314; al-Fiyruzabadi (1983), al-Qamus al-Muhit, juz. 2. Beirut: Dar al-Fikr, hh. 99-100; Saiful Azhar Rosly (2005), op.cit., h. 70.
[14] Misalnya lihat Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd (1988), Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, juz. 2. Beirut: Dar al-Qalam, h. 147; Abu Zakariyya Muhyi al-Din bin Syaraf al-Nawawi (t.t), Majmu‘ Syarh al-Muhadhdhab, juz. 9. Beirut: Dar al-Fikr, h. 257; Nabil A. Saleh (1986), Unlawful Gain and Legitimate Profit in Islamic Law. Cambridge: Cambridge University Press, h. 52.
[15] Saiful Azhar Rosly (2005), op.cit., h. 485.
[16] Afzalur Rahman (1979), op.cit., Vol. 4, h. 136; Ahmad al-Sa‘id Syaraf al-Din (1982), ‘Uqud al-Ta’min wa ‘Uqud Daman al-Istithmar. TTP: T.P, hh. 142-165.
[17] al-Imam ‘Ala’ al-Din Abu Bakr Ibn Mas‘ud al-Kasani (t.t), Bada’i‘ al-Sana’i‘  fi Tartib al-Syara’i‘, juz, 5. Beirut: Matba‘ah al-‘Asimah, h. 138 dan 209; ‘Abd al-Rahman al- Jaziri (t.t.), Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Arba‘ah, juz. 2, Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, h. 241 dst; Nayla Comair Obeid (1996), The Law of Bussiness Contracts in the Arab Middle East. London: Kluwer Law International, hh. 22-28.
[18] Lihat kriteria gharar dalam kaitannya dengan objek kontrak pada bab 2.
[19] Ab Mumin Ab Ghani (1999), op.cit., h. 345; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 43; Husain Hamid Hasan (1996), Asuransi dalam Hukum Islam. Jakarta: C.V. Firdaus, hh. 43-47.
[20] Ibrahim Anis et al. (t.t.), op.cit., juz. 2, h. 1064.
[21] Ahmad Hidayat Buang (2000), Studies in The Islamic Law of Contracts: The Prohibition of Gharar. Kuala Lumpur: International Law Book Services, h. 38; Sami al-Suwailem (2000), “Towards an Objective Measure of Gharar in Exchange” dalam Islamic Economic Studies, Vol. 7, No. 1 dan 2, Oktober 1999 dan April 2000, h. 79.
[22] Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh. 115-116.
[23] Ab Mumin Ab Ghani (1999), op.cit., h. 346; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 44; Husain Hamid Hasan (1996), op.cit., hh. 72-74; Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh. 122-123; Ahmad al-Sa‘id Syaraf al-Din (1982), op.cit., hh. 190-192.
[24] Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh. 124 dan 208.
[25] Ibid., h. 210.
[26] Afzalur Rahman (1979), op.cit., hh. 113-210; Ab Mumin Ab Ghani (1999), op.cit., h. 346; Joni Tamkin bin Borhan dan Che Zarrina Binti Sa’ari (2003), op.cit., h. 44; Husain Hamid Hasan (1996), op.cit., hh. 75-76; Ahmad al-Sa‘id Syaraf al-Din (1982), op.cit., hh. 206-207.
[27] Lihat selengkapnya dalam Mohd. Ma’sum Billah (2003d), op.cit., hh. 42-57; Mohd. Ma’sum Billah (2003d), “Development and Principles of Takaful in the Islamic Economy” dalam Islamic Law of Trade and Finance A Selected Issues. Petaling Jaya: Ilmiah Publishers, hh. 149-156.