Jumat, 13 November 2015

Law and Society-Brian Z. Tamanaha tugas kuliah Sosiologi Hukum



Hukum dan Masyarakat – Brian Z. Tamanaha
Disusun Oleh :
Eka Sundari Banjar Lestari (1420311074)
Randy Dwi Hermanto ( 1420311055)

Hukum dan Masyarakat merupakan subyek yang memiliki potensi tidak terbatas. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perbedaan baik definisi “hukum” maupun “masyarakat”. Istilah hukum dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, karena hukum merupakan fenomena sosial yang tertanam dalam masyarakat secara menyeluruh, bukan sesuatu yang berdiri terpisah dalam hubungannya dengan masyarakat. Menurut Lawrance Friedman “Hukum dan Masyarakat” mulai menjadi objek penelitian sejak awal abad kedua puluh dimana dalam penelitian tersebut berasal dari berbagai aspek seperti sosiologi hukum, sejarah hukum, sejarah hukum, ilmu politik, psikologi, dan perilaku ekonomi, yang kemudian memberikan kontribusi besar dalam menemukan teori sosial, teori politik, dan teori hukum.
Jika melihat dan menelusuri buku-buku mengenai “Hukum dan Masyarakat”, maka bahasan didalamnya mencakup tatanan sosial, kontrol sosial, organisasi sosial, evolusi atau perubahan sosial dan hukum, penyelesaian sengketa, norma sosial, peraturan, hukum dalam tindakan, ideologi, ketimpangan/ketidaksetaraan, kekuatan, hukuman/sanksi, kesadaran hukum, budaya hukum, penataan masyarakat, profesi hukum, teori kritis, hukum dan hubungannya dengan ekonomi, dan sosiologi hukum.
Fungsi hukum bagi masyarakat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
·         Hukum merupakan cermin dari masyarakat yang berfungsi untuk menjaga ketertiban/tatanan sosial.
Dari ungkapan tersebut memunculkan sebuah teori yang disebut dengan teori cermin. Menurut Brian Z. Tanamaha, teori tersebut menjelaskan bahwa hukum selalu terbatas untuk komunitas tertantu. Sebab hukum merupakan pencerminan dari gagasan, tradisi, nilai-nilai, dan tujuan masyarakatnya. Oleh karena itu, transplantasi/ pencangkokan hukum dari masyarakat lain sangat tidak memungkinkan. Menurut Baron de Montesquieu dalam buku milikinya yang berjudul “The Spirit of Law” berpendapat bahwasanya hukum merupakan suatu keharusan yang disesuaikan dengan adat istiadat tertentu, sopan santun, agama, perdagangan, dan sistem politik tertentu yang berkaitan erat dengan situasi dan wilayah masing-masing negara.
Henry Maine membagi hukum yang disesuaikan dengan masyarakat, yaitu hukum pada masyarakat kuno merupakan hukum yang didasarkan pada status orang dalam kelompok, dan hukum pada masyarakat modern individu memiliki keutamaan/keunggulan dan mengatur urusan mereka sendiri sehingga hukum didasarkan pada status kontrak. Steven Vago berpendapat bahwa fungsi hukum yang paling penting adalah untuk mengatur dan membatasi perilaku individu dalam hubungan mereka satu dengan lainnya. Benjamin Cardozo menyatakan bahwa  hukum adalah ekspresi dari prinsip yang terpenting untuk ketertiban dimana seseorang harus menyesuaikan diri dalam perilaku dan hukbungannya sebagai anggota masyarakat.
Emile Durkheim menjelaskan mengenai “hukum adalah refleksi dari masyarakat yang berfungsi untuk menjaga ketertiban sosial” yaitu hukum bagi masyarakat kuno bersifat represif yaitu pengendalian sosial yang ditujukan untuk memulihkan keadaan seperti sebelum pelanggaran itu terjadi karena gangguan/konflik yang terjadi dalam tatanan sosial merupakan ancaman terhadap kelompok tersebut secara keseluruhan. Sehingga dalam pelaksanaanya masyarakat kuno menjalankannya dengan kesadaran kolektif. Sedangkan bagi masyarakat modern, hukum berorientasi ke arah restitusi[1] untuk memperbaiki gangguan/konflik yang terjadi dalam masyarakat. Jurgen Hebermas menyatakan norma hukum sekarang merupakan apa yang tersisa dari kehancuran kesatuan masyrakat. Maksudnya adalah apabila semua mekanisme berasal dari penggabungan integrasi[2] sosial, dalam hal ini hukum tidak mampu memberikan cara/jalan untuk masyarakat bersama-sama mengahadapai masalah yang kompleks, maka masyarakat terbut akan mengalami kehancuran. Dalam pandangan ini, hukum hanyalah sekedar cerminan/gambaran dari hubungan sosial.
·         Hukum merupakan pengatur/rekayasa sosial
Setelah muncul gagasan mengenai hukum merupakan cermin masyarakat yang berfungsi untuk menjaga ketertiban sosial, muncul gagasan lain yang menyatakan bahwa apa yang mempertahankan tatanan sosial adalah hukum. Bronislaw Malinowski menyatakan bahwa hukum tidak terdapat/tidak ditemukan pada otoritas tertentu, kitab undang-undang, pengadilan, dan pihak berwajib/polisi melainkan ada dalam hubungan sosial. Hal ini sejalan dengan Eugen Ehrlich yang menyatakan bahwa hukum tidak munul dalam teks, pengadilan, atau ilmu hukum, melainkan dalam perilaku-perilaku masyarakat. Hukum sebagai perilaku dimaksudkan utnutk mendudukan manusia dalam posisi sentral dalam penerapan hukum. Hukumsejatinya hanyalah teks diam dan hanya melalui perantara manusialah hukum menjadi “hidup”. Felix Cohen menyatakan apabila hukum adalah apa yang mempertahankan tatanan sosial, seperti yag dikatakan Malinowski dan Ehrlich, maka hukum mencakup semua bentuk tatanan normatif, dimana hukum itu sendiri menyatu dengan agama, adat etika, moralitas, kesopanan, kebijaksanaan dan etika.
Hubungan antara hukum dan masyarakat seperti yang disampaikan diatas memunculkan analisis bahwasanya apa yang biasanya dipahami sebagai “hukum” adalah perundang-undangan, peradilan,  pihak penegak hukum dan sanksi. Hal-hal tersebut tidak berpengaruh bagi sebagian tatanan sosial. Ada banyak cara mengatur, mengkoordinasi, dan memelihara tatanan sosial tanpa melibatkan lembaga-lembaga hukum seperti/melalui kebiasaan, adat istiadat, praktek, norma-norma moral, kerangka kognitif, struktural kendala, timbal balik, kepentingan pribadi, altruisme (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri, dan lain sebagainya. Memisahkan hukum dan kehidupan tidak dapat dilakukan. 

Lembaga Pembuat Hukum
Salah satu unsur adanya hukum adalah adanya pihak berwenang yang membuat peraturan. Pada masyarakat kuno pemegang otoritas pembuat hukum dilakukan oleh kepala suku, pimpinan prajurit, atau dewan yang memegangi posisi mereka dengan tradisi yang ditunjuk secara khusu untuk menangani ganguan/konflik yang terjadi di masyarakat. Max Weber menyatakan bahwa perintah akan disebut hukum apabila didalamnya terdapat unsur memaksa yang menjamin adanya balasan/sanksi yang akan diterima bagi siapa saja yang melanggarnya, yang mana hal ini diterapkan oleh majelis/dewan yang memiliki kepentingan khusus untuk mencapai tujuan yang diinginkan dari berlakunya hukum tersebut. Dalam pandangan Max Weber, hukum merupakan aturan-aturan yang mengizinkan orang pada umumnya untuk secara aktif melaksanakannya melalui pranata-pranata khusus yang mempunyai kewenangan untuk melakukan paksaan secara sah, saknsi ekonomi seperti denda, dan lain-lain, sumber kekuasaan yang membuat orang tunduk atau untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Ditemukan adanya kesenjangan antara hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang (hukum positif) dan bagaimana lembaga berwenang tersebut memberlakukan hukum itu sendiri, yaitu : hukum sering diabaikan oleh pejabat pembuat hukum, norma hukum diberlakukan untuk tujuan simbolis yang penegakannya minim untu dilakukan, hukum yang dibuat oleh lembaga/pejabat pembuat hukum tidak jarang bertentangan dengan norma hukum lain yang ada dimasyarakat dan tidak jarang hukum yang berasal dari pembuat hukum tersebut melemah hukum yang lainnya, hal yang sifatnya sis-sia memberlakukan hukum yang bertentangan dengan pandangan sosial, hukum yang berlaku untuk kasus-kasus tertentu dapat menyebabkan hasil yang tidak adil atau merugikan sosial, pejabat hukum kebal terhadap hukum itu sendiri, pejabat hukum membuat hukum dengan tujuan mendapat keuntungan dari pihak luar lembaga pembuat hukum, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari kesenjangan yang terjadi terdapat ketidaksesuaian sistematis, sehingga hukum dinilai hanya sebagai kata-kata di atas kertas.
Kekurangan lainnya adalah proses hukum. Dimana proses hukum berharga mahal dan dapat menyebabkan penyelesaian dalam jangka waktu yang lama, adanya pengacara yang menguasai situsi melebihi pihak yang berperkara (hal tersebut dapat berpotensi memperburuk sengketa), norma hukum yang berlaku mungkin tidak sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh pihak yang bersengketa, sistem hukum dapat menghasilkan pihak yang menang dan yang kalah, dan lain sebagainya. Seharusnya hukum diberlakukan bersifat netral yang keberlakuannya sama untuk semua kalangan, tetapi pada penelitian dilapangan menunjukkan bahwa pihak-pihak berpekara yang kaya tingkat keberhasilannya lebih tinggi dalam tindakan hukum dari para pihak yang miskin.
 


[1][1] Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
[2] proses penyesuaian di antara sistem-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.

Jumat, 25 Mei 2012

Hukum Ketenagakerjaan_Hubungan Industrial

Pengertian Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan atau jasa yang terdiri dari pengusaha, pekerja, dan pemerintah.

Fungsi Pemerintah dalam hubungan Industrial adalah sbb :
1. Menetapkan kebijakan -> UMP (Upah Minimum Provinsi)
2. Memberikan pelayanan
3. Melaksanakan pengawasan
4. Melakukan penindakan terhadap pelanggar peraturan per-UU-an

Fungsi Pekerja & Serikat Pekerja adalah sbb :
1. Menjalankan pekerjaan
2. Menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi
3. Menyalurkan aspirasi secara demokrasi
4. Mengembangkan keterampilan dan keahliannya
5. Memajukan perusahaan
6. Memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya

Fungsi Pengusaha adalah sbb :
1. Menciptakan kemitraan
2. Mengembangkan usaha
3. Memperluas lapangan kerja
4. Memberikan kesejahteraan pekerja secara terbuka, demokrasi, dan adil

Sarana Pelaksanaan Hubungan Industrial :
1. Serikat Pekerja
2. Organisasi pengusaha
3. Lembaga kerjasama BIPARTIT
4. Lembaga Kerjasama TRIPARTIT
5. Peraturan Perusahaan
6. Perjanjian kerja bersama
7. Peraturan per-UU-an ketenagakerjaan
8. Lembaga penyelesaian Hubungan Industrial

Minggu, 18 Desember 2011

Hukuman Pidana Mati Bagi koruptor

Pendahuluan

Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatankejahatan berat dengan pidana mati. Waktu berjalan terus dan di pelbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan dipelbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidaksama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut diatas.

Dengan adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosio-kriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar kejahatan-kejahatan yang berat dapat dibasmi, dicegah atau dikurangkan, ternyata merupakan harapan hampa belaka.

Sejarah hukum pidana pada masa lampau mengungkapkan adanya sikap dan pendapat seolah-olah pidana mati merupakan obat yang paling mujarab terhadap kejahatan-kejahatan berat ataupun terhadap kejahatan-kejahatan lain. Dalam pada itu bukan saja pada masa lampau, sekarang pun masih ada yang melihat pidana mati sebagai obat yang paling mujarab untuk kejahatan. Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang hukum pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak pendukung dan penentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar, mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan.

    Pidana mati ini pun menjai salah satu harapan yang muncul di masyarakat untuk mengatasi masalah korupsi. Munculnya wacana hukuman pidana mati bagi para koruptor tidak terlepas dari tingga tingkat korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara. Dari kasus Bank Century, Wisma atlet, sampai kasus Pajak yang dikorupsi hal ini menyebabkan kerugian negara yang tidak sedikit jumlahnya. Maka untuk memberikan efek jera kepada para koruptor maka hukuman pidana mati dianggap sebagai salah satu solusi yang cocok utuk memberikan efek jera bagi koruptor.


Pembahasan

a.    Pengertian Korupsi
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption sama seperti penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :  Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Selain itu terdapat pengertian korupsi dalam undang-undang antara lain :
Dalam Undang undang nomor 3 Tahun 1971 pengertian korupsi tertuang dalam pasal 1 ayat 1 a dan b yang berbunyi
1.a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
       b. barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Sementara itu dalam undang-undang nomor 31tahun 1999 definisi korupsi tertuang dalam pasal 2 ayat 1 dan 3 yang berbunyi :

Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dari pengertian-pengertian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan terutama yang berkenaan dengan unsur-unsur korupsi antara lain :
•    Perbuatan Melawan Hukum
•    Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
•    Menyalahgunakan wewenang
•    Menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara

b.    Hukuman Pidana Mati Di Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia kita mengenal dengan adanya hukuman mati atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan mengenai macam-macam bentuk pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dan pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.
Peraturan perundang-undang yang lain yang ada di Indonesia, juga banyak yang mencantumkan ancaman pemidanaan berupa pidana mati, misalkan Undang-undang No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotik dan Psikotropika, Undang-undang No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, Perpu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah disahkan menjadi Undang-undang.
Roeslan Saleh dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu adalah  :
1.    Pasal104 (makar terhadap presiden dan wakil presiden)
2.    Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau berperang, jika
             permusuhan itu dilakukan atau jadi perang)
3.    Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu perang)
4.     Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja atau kepala negara-negara sahabat yang
              direncanakan dan berakibat maut)
5.    Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6.    Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
7.    Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
8.     Pasal444 (pembajakan di laut, pesisirdan sungai yang mengakibatkan kematian).

Namun perdebatan muncul ketika banyak orang yang mulai menanyakan apakah  pidana mati masih relevan atau layak diterapkan sebagai suatu hukuman di Indonesia. Pertanyaan tersebut dilontarkan bukan tanpa alasan, namun kebanyakan dari mereka menganggap pidana mati melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu hak untuk hidup. Hak itu terdapat dalam UUD 1945 pasal 28A yang mengatakan “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Sehingga mereka menganggap bahwa hak hidup merupakan hak yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dari perspektif internasional ketentuan mengenai hak asasi manusia yang berkaitan dengan hak hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life). Pasal 6 ayat (1) ICCPR berbunyi setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) menyatakan bagi negara yang belum menghapus ketentuan pidana mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan kovenan ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime of Genocide. Pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh pengadilan yang kompoten
Ada juga yang menyatakan jika pidana mati sudah tidak relevan dan ketinggalan zaman. Karena dari studi ilmiah terhadap hukuman-hukuman mati yang dilakukan beberapa lembaga di dunia pun menunjukkan bahwa hukuman mati gagal membuat jera dan tidak efektif dibandingkan dengan jenis hukuman lainnya. Hasil survei PBB antara 1998 hingga 2002 tentang korelasi antara praktek hukuman mati dan angka kejahatan menyebutkan hukuman tidak lebih baik daripada hukuman seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. Hasil studi tersebut secara significan mempengaruhi keputusan beberapa negara untuk menghapuskan hukuman mati. Hingga tahun lalu telah 129 negara yang menghapuskan hukuman mati dari sistem hukumnya, terdiri dari 88 negara menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapuskan hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa dan 29 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati. Hingga saat ini tingal 68 negara yang masih belum memberlakukan penghapusan hukuman mati, termasuk Indonesia.
Mengenai hak asasi manusia (HAM), di Indonesia juga melindunginya dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini di tunjukan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai HAM, yaitu Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam undang-undang ini mengenai hak hidup tercantum dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan “setiap orang berhak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”, secara sekilas pasal ini tidak jauh dengan ketentuan pasal 28A UUD 1945 yang tersebut di atas. Namun jika teliti lagi, dalam penjelasan pasal ini menyatakan :
“setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan melekat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dibatasi.”
Dari penjelasan tersebut dapat kita garis bawahi pada kalimat “…berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan…” sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam keadaan tersebut hak untuk hidup dapat dihilangkan. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup (right to life), yang menyatakan dalam pasal 6 ayat1 “setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu”.
Perdebatan mengenai pidana mati juga terkait dengan hak hidup yang dalam instrumen hukum internasional maupun dalam UUD 1945 masuk dalam kategori hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights). Namun demikian, instrumen hukum internasional, khususnya ICCPR tidak sama sekali mela¬rang pidana mati melainkan membatasi penerapannya.
Hal itu dalam konteks Indonesia dikukuhkan dalam Pu¬tusan MK No 2-3/PUU-V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan, penerapan, mau¬pun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi me¬rupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang bersifat khusus dan alternatif. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 ta¬hun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa tersebut sem¬buh.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP (Baru), pidana mati  masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan. Pengaturan pidana mati dalam Rancangan KUHP diatur dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 89.
c.    Hukuman Pidana Mati bagi Koruptor
Korupsi adalah penyakit yang sulit untuk diberantas. Adanya aturan hukum yang keras tidak menjadikan seorang koruptor menjadi takut untuk melakukan korupsi. Korupsi tidak saja berkait dengan masalah hukum murni semata, tetapi juga menyangkut masalah moral. etika, serta budaya walau hal ini masih dalam taraf perdebatan. Korupsi dan penerapaan sanksi hukum menarik untuk dikaji setidaknya disebabkan oleh beberapa Hal: pertama, bahwa korupsi menjadi penghambat dari pembangunan yang dilaksanakan. Dengan terjadinya korupsi maka terjadi pula ekonomi biaya tinggi. Kedua, terkait dengan terjadinya korupsi, maka pelaksanaan aturan hukum yang berusaha menjerat para koruptor juga telah memberikan ancaman yang berat, berupa penjatuhan sanksi pidana mati. Akan tetapi dalam konteks pelaksanaan ancaman tersebut amat jarang dijatuhkan sebagai sanksi pidana. Apakah dengan hal tersebut menjadikan pelaku korupsi semakin bebas berbuat?

     Dalam hal terjadinya perbuatan korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman pidana mati sesuai ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Hanya pelaksanaan dari ketentuan pidana ini tidak bersifat mengikat secara hukum, karena adanya kata "dapat". Kata tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa pelaku pidana korupsi dapat dijatuhi hukuman mati, bukan pelaku pidana dijatuhi hukuman mati.Pelaksanaan hukuman mati pada hakikatnya memberikan faktor jera bagi pelaku serta memberikan pendidikan bagi pihak lain untuk berbuat hal yang sama. Jika pasal tersebut memberikan kata "dapat", maka putusan diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkan pilihan pidana terhadap pelaku pidana korupsi. Penjatuhan pidana mati bagi pelaku korupsi tentu dikaitkan dengan Hak asasi Manusia atas hidup dan kehidupan. Keengganan hakim untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku pidana korupsi berkait dengan hak yang diterima oleh pelaku kejahatan. Penjatuhan pidana mati ditolak karena pidana mati berkait dengan hidup mati seseorang, bagi kaum moralis hal ini berkait dengan hak Tuhan untuk menentukan kematian seseorang. Tentu kematian seseorang merupakan hak Tuhan, akan tetapi hak manusia untuk menjatuhkan pidana mati merupakan hak yang diberikan Tuhan kepada manusia. Artinya menjatuhkan sanksi tersebut bukan karena kesewenangan, melainkan hak yang diberikan Tuhan dengan sebuah kewenangan hukum. Dengan demikian tidak melanggar hak manusia itu sendiri.
Banyak negara yang mulai menghapuskan sanksi mati dalam hukum pidananya, akan tetapi bagi Indonesia hal ini masih perlu untuk dipertahankan. Pidana mati tentunya bersifat paling akhir, tetapi melihat perbuatan korupsi tidak saja merugikan pihak secara individual, maka pidana mati masih logis untuk duipertahankan. Penjatuhan pidana mati tentu tidak saja bersifat memberikan efek jera, tetapi dengan dampak koorupsi yang bersifat menggurita karena menimbulkan gangguan secara ekonomi terhadap keuangan negara, maka hakim harus mulai berfikir alternatif mati sebagai sanksi pidana.
Selain permasalahan penjatuhan pidana mati permasalahan lain yang muncul adalah bahwa pidana korupsi harus diartikan sebagai adanya keuangan negara yang dirugikan (Pasal 2 ayat 1). Jika keuangan negara tidak dirugikan, maka undang-undang ini akan sulit untuk diterapkan. Dengan demikian pelaku kejahatan keuangan yang merugikan keuangan perusahaan tidaklah dapat diartikan merugikan keuangan negara. Tampaknya kita juga harus berfikir dan berpaling pada Pasal 12 UU No.7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2003. Dalam Pasal 12 tersebut dijelaskan bahwa Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum internalnya untuk mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta,meningkatkan standar akuntansidan audit di sektor swasta, jika dipandang perlu memberikan sanksi perdata, adminitratif, atau pidana yang efektif, proporsional dan bersifat larangan bagi yang tidak mematuhi tindakan tindakan tersebut. Penerapan delik korupsi dalam UU ini sebagai sesuatu yang maju, walau akan menimbulkan perdebatan hukum, mengingat pada UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mensyaratkan adanya kerugian negara yang timbul.
Kesimpulan
Pidana mati merupakan salah satu hukuman bagi koruptor hal ini sebagai mana tercantum dalam undang-undang namun karena hukuman ini hanya bersifat hukuman pilihan maka sangat jarang digunakan sebagai tuntutan bagi pelaku korupsi. Namun  apabila hal ini dipandang sebagai salah satu cara untuk membasmi korupsi maka perlu ada permulaan dan realisasi dari hukuman pidana mati bagi koruptor.
Penutup
Sekian makalah ini kami sampaikan semoga bisa memberikan tambahan pengetahuan bagi kita semua terutama dalam bidang hukum pidana terutama yang berkaitan dengan hukuman pidana mati bagi koruptor

Sumber

  • http://dalangkoruptor.blogsidak.com/2011/03/01/pengertian-korupsi/ diakses pada 14 november 2011 pukul 20.15
  •  Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia  Syahruddin Husein S,H
  •  http://hmibecak.wordpress.com/2007/06/14/problemetika-pidana-mati-di-indonesia/ Diakses 7 Desember 2011 pukul 23.15 
  • http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=140&Itemid=140

POSBAKUM ( Pos Bantuan Hukum )




Pengetahuan masyarakat terhadap hukum di Indonesia bisa dikategorikan rendah. Terutama bagi rakyat miskin. Sehingga terkadang ketika terjerat sebuah perkara mereka menghadapinya sendiri tanpa ada bantuan dari kuasa hukum. Namun dalam UUD 1945 pasal 28 D (1) menyatakan dengan tegas bahwasetiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jaminan negara ini kemudian dijabarkan dalam berbagai Undang-Undang dan peraturan yang berkaitan dengan akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan.

Masyarakat yang tidak mampu dan awam hukum dalam mengajukan perkaranya ke pengadilan sering kali dihadapkan pada aturan dan bahasa hukum yang kadang terkesan kaku dan prosedural. Baik dalam tahapan litigasi maupun non litigasi semuanya harus dilakukan sesuai dengan aturan hukum itu sendiri atau jika tidak permohonan atau gugatan yang diajukan akan ditolak pengadilan padahal bisa jadi hanya karena tidak memenuhi aspek prosedural hukum.

Maka atas dasar pertimbangan itulah kemudian dibentuk Undang-Undang yang mengatur tentang POSBAKUM ( Pos Bantuan Hukum ) bagi rakyat kecil yang tidak mampu. Undang-undang yang mengatur tentang POSBAKUM antara lain Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009 dan Undang-undang nomor 50 Tahun 2009. Dalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009 pasal 56 dan 57 menyatakan bahwa :
Pasal 56
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.
Pasal 57
(1) Pada setiap pengadilan negeri dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.

(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1),diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.

Hal ini kemudian dikuatkan dengan Undang-undang nomor 50 Tahun 2009 yaitu pada pasal 60 C yang berbunyi:
Pasal 60C
(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara cuma-cuma kepada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan



Untuk menindaklanjuti perintah undang-undang tersebut Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan surat Edaran yang mengatur tentang POSBAKUM serta tata cara pelaksanaanya. Dalam surat edaran ini terdapat tiga lampiran. Lampiran A tentang POSBAKUM serta tata cara pemberian bantuan pada Pengadilan Negeri, Lampiran B tentang POSBAKUM serta tata cara pemberian bantuan pada Pengadilan Agama , dan lampiran C  tentang POSBAKUM serta tata cara pemberian bantuan pada Pengadialan Tata Usaha Negara. Dan yang kami bahas adalah lampiran B yaitu dari pasal 16 sampai Pasal 31. Isi dari pasal-pasal tersebut antara lain :

Pasal 16
Pembentukan Pos Bantuan Hukum
(1) Pada setiap Pengadilan Agama dibentuk Pos Bantuan Hukum.
(2) Pembentukan Pos Bantuan Hukum di Pengadilan Agama dilakukan secara bertahap.
(3) Pengadilan Agama menyediakan dan mengelola ruangan dan sarana serta prasarana untuk Pos Bantuan Hukum sesuai kemampuan.

Pasal 17
Jenis Jasa Hukum Dalam Pos Bantuan Hukum
(1) Jenis jasa hukum yang diberikan oleh Pos Bantuan Hukum berupa pemberian informasi, konsultasi, advis dan pembuatan surat gugatan/permohonan.
(2) Jenis jasa hukum seperti pada ayat (1) di atas dapat diberikan kepada
penggugat/pemohon dan tergugat/termohon.
(3) Pemberian jasa hukum kepada penggugat/pemohon dan tergugat/termohon tidak boleh dilakukan oleh satu orang pemberi bantuan hukum yang sama.

Pasal 18
Pemberi Jasa Di Pos Bantuan Hukum
(1) Pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum adalah:
a. Advokat;
b. Sarjana Hukum; dan
c. Sarjana Syari’ah.
(2) Pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum berasal dari organisasi bantuan hukum dari unsur Asosiasi Profesi Advokat, Perguruan Tinggi, dan LSM (Lembaga SwadayaMasyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(3) Pemberi jasa di Pos Bantuan Hukum dapat diberi imbalan jasa oleh negara melalui DIPA Pengadilan Agama.
(4) Pemberi jasa yang akan bertugas di Pos Bantuan Hukum ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama melalui kerjasama kelembagaan dengan organisasi profesi advokat, organisasi bantuan hukum dari unsur Perguruan Tinggi, dan oganisasi bantuan hukum dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pasal 19
Penerima Jasa Pos Bantuan Hukum
Yang berhak menerima jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah orang yang tidak mampu
membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang disabilitas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai penggugat/permohon maupun tergugat/termohon.


Pasal 20
Syarat-Syarat Memperoleh Jasa Dari Pos Bantuan Hukum
Syarat untuk mengajukan permohonan pemberian jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah
dengan melampirkan:
a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh KepalaDesa/ Lurah/ Banjar/Nagari/Gampong; atau
b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin(KKM), Kartu Jaminan kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT); atau
c. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan ditandatangani oleh Pemohon Bantuan Hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Agama.

Pasal 21
Imbalan Jasa Bantuan Hukum
(1) Besarnya imbalan jasa didasarkan pada lamanya waktu yang digunakan oleh
pemberi jasa bantuan hukum dalam memberikan layanan, bukan pada jumlah
penerima jasa yang telah dilayani.
(2) Ketentuan besarnya imbalan jasa ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Agama sesuai
dengan ketentuan mengenai standar biaya yang berlaku.
(3) Panitera Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran, berdasarkan ayat (2) di atas,
membuat Surat Keputusan bahwa imbalan jasa bantuan hukum tersebut
dibebankan kepada DIPA pengadilan dan selanjutnya menyerahkan Surat
Keputusan tersebut kepada Bendahara Pengeluaran sebagai dasar pembayaran.
(4) Bendahara pengeluaran membayar imbalan jasa bantuan hukum dengan
persetujuan Kuasa Pengguna Anggaran.

Pasal 22
Mekanisme Pemberian Jasa Pos Bantuan Hukum
(1) Pemohon jasa bantuan hukum mengajukan permohonan kepada Pos Bantuan
Hukum dengan mengisi formulir yang telah disediakan.
(2) Permohonan seperti pada ayat (1) dilampiri:
a. Fotocopy Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dengan memperlihatkan
aslinya; atau
b. Fotocopy Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya dengan memperlihatkan
aslinya; atau
c. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat.
(3) Pemohon yang sudah mengisi formulir dan melampirkan SKTM dapat langsung
diberikan jasa layanan bantuan hukum berupa pemberian informasi, advis,
konsultasi dan pembuatan gugatan/permohonan.
Pasal 23
Mekanisme Pengawasan dan Pertanggung Jawaban
(1) Pengawasan Pos Bantuan Hukum dilakukan oleh Ketua Pengadilan bersama-sama
dengan organisasi penyedia jasa bantuan hukum.
(2) Ketua Pengadilan Agama bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemberian
bantuan hukum.
(3) Panitera Pengadilan Agama membuat buku registrasi khusus untuk mengontrol
pelaksanaan pemberian bantuan hukum.
(4) Pemberi bantuan hukum wajib memberikan laporan tertulis kepada Ketua
Pengadilan Agama tentang telah diberikannya bantuan hukum dengan melampirkan
bukti-bukti sebagai berikut:
a. Formulir permohonan dan foto kopi Surat Keterangan Tidak Mampu atau
Surat Keterangan Tunjanngan Sosial lainnya, jika ada; dan
b. Pernyataan telah diberikannya bantuan hukum yang ditandatangani oleh pihak
pemberi dan penerima bantuan hukum.
(5) Kuasa Pengguna Anggaran menyimpan seluruh bukti pengeluaran anggaran sesuai
ketentuan.
(6) Bendahara pengeluaran melakukan pembukuan setiap transaksi keuangan untuk
penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum sesuai ketentuan.
(7) Panitera/Sekretaris melaporkan pelaksanaan pos bantuan hukum melalui SMS
Gateway dan laporan lainnya sesuai ketentuan.

BAB V
TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN BANTUAN HUKUM
DALAM PERKARA JINAYAT
POS BANTUAN HUKUM

Pasal 24
Sarana dan Prasarana
Selain menyediakan ruangan untuk Pos Bantuan Hukum sebagaimana tercantum pada
pasal 16 pedoman ini, Mahkamah Syar’iyah juga menyediakan dan mengelola ruangan
untuk Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Ruang Tahanan.

Pasal 25
Jenis Jasa Hukum Dalam Pos Bantuan Hukum
(1) Jasa bantuan hukum yang dapat diberikan oleh Pos Bantuan Hukum kepada
Tersangka/Terdakwa berupa pemberian informasi, konsultasi dan advis serta
penyediaan Advokat Pendamping secara cuma-cuma untuk membela kepentingan
Tersangka/Terdakwa dalam hal Terdakwa tidak mampu membiayai sendiri
Penasihat Hukumnya.
(2) Bantuan penyediaan Advokat secara cuma-cuma hanya diberikan terhadap perkara
yang telah dlimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) ke Mahkamah Syar’iyah.

Pasal 26
Pemberi Jasa di Pos Bantuan Hukum
(1) Pemberi Jasa di Pos Bantuan Hukum adalah:
a. Advokat;
b. Sarjana Hukum; dan
c. Sarjana Syari’ah.
(2) Pemberi jasa bantuan hukum berasal dari organisasi bantuan hukum dari unsur
Asosiasi Profesi Advokat, Perguruan Tinggi, dan LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM.
(3) Khusus untuk pendampingan Terdakwa di persidangan, pemberi jasa bantuan
hukum adalah Advokat.
(4) Pemberi Jasa Bantuan Hukum dapat diberi imbalan jasa oleh Negara melalui DIPA
Mahkamah Syar’iyah.
(5) Pemberi jasa yang akan bertugas di Pos Bantuan Hukum ditunjuk oleh Ketua
Mahkamah Syar’iyah melalui kerjasama kelembagaan dengan Organisasi Profesi
Advokat dan organsasi bantuan hukum dari unsur Perguruan Tinggi dan LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
Pasal 27
Penerima Jasa Bantuan Hukum
Yang berhak mendapatkan jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah orang yang tidak
mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang
disabilitas, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai Terdakwa
maupun Tersangka.
Pasal 28
Syarat-Syarat Memperoleh Jasa Dari Pos Bantuan Hukum
Syarat untuk mengajukan permohonan pemberian jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah
dengan melampirkan:
a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan oleh Kepala
Desa/Lurah/Banjar/Nagari/Gampong; atau
b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin (KKM),
Kartu Jaminan kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga
Harapan (PKH), dan Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT); atau
c. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat yang dibuat dan
ditandatangani oleh Pemohon bantuan hukum dan diketahui oleh Ketua Pengadilan
Mahkamah Syar’iyah.
Pasal 29
Imbalan Jasa Bantuan Hukum
(1) Besarnya imbalan jasa untuk pemberian informasi, konsultasi dan advis didasarkan
pada lamanya waktu yang digunakan oleh pemberi jasa bantuan hukum dalam
memberikan layanan, bukan pada jumlah penerima jasa yang telah dilayani.
(2) Besarnya imbalan jasa untuk pendampingan dalam persidangan didasarkan pada
jumlah perkara.
(3) Ketentuan besarnya imbalan jasa ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah sesuai
dengan ketentuan mengenai standar biaya yang berlaku.
(4) Panitera Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran, berdasarkan ayat (3) di atas,
membuat Surat Keputusan bahwa imbalan jasa bantuan hukum tersebut
dibebankan kepada DIPA pengadilan dan selanjutnya menyerahkan Surat
Keputusan tersebut kepada Bendahara Pengeluaran sebagai dasar pembayaran.
(5) Bendahara pengeluaran membayar imbalan jasa bantuan hukum dengan persetujuan
Kuasa Pengguna Anggaran.
Pasal 30
Mekanisme Pemberian Jasa Bantuan Hukum
(1) Pemohon jasa bantuan hukum (Tersangka/Terdakwa) mengajukan permohonan
kepada Pos Bantuan Hukum dengan mengisi formulir yang telah disediakan.
(2) Permohonan seperti pada ayat (1) dilampiri:
a. Fotocopy Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dengan memperlihatkan
aslinya; atau
b. Fotocopy Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya dengan memperlihatkan
aslinya; atau
c. Surat Pernyataan tidak mampu membayar jasa advokat.
(3) Pemohon jasa bantuan hukum yang sudah mengisi formulir dan melampirkan
SKTM dapat langsung diberikan jasa layanan bantuan hukum berupa pemberian
informasi, konsultasi dan advis.
(4) Pemohon jasa bantuan hukum yang memerlukan jasa pendampingan dalam
persidangan dapat diberikan bantuan pendampingan oleh seorang Advokat setelah
berkas perkaranya dilimpahkan oleh Jaksa Penuntut Umum ke Mahkamah
Syar’iyah.
(5) Ketua Mahkamah syar’iyah menunjuk advokat untuk mendampingi Terdakwa di
persidangan.

Pasal 31
Mekanisme Pengawasan dan Pertanggung Jawaban
(1) Pengawasan Pos bantuan Hukum dilakukan oleh Ketua Mahkamah Syar’iyah
bersama-sama dengan organisasi penyedia jasa bantuan hukum.
(2) Ketua Mahkamah Syar’iyah bertanggung jawab dalam pelaksanaan pemberian
bantuan hukum.
(3) Panitera Mahkamah Syar’iyah membuat buku registrasi khusus untuk mengontrol
pelaksanaan pemberian bantuan hukum.
(4) Pemberi bantuan hukum wajib memberikan laporan tertulis kepada Ketua
Mahkamah Syar’iyah tentang telah diberikannya bantuan hukum dengan
melampirkan bukti-bukti sebagai berikut :
a. Formulir permohonan dan fotocopy SKTM atau Surat Keterangan Tunjanngan
Sosial lainnya, jika ada; dan
b. Pernyataan telah diberikannya bantuan hukum yang ditandatangani oleh pihak
pemberi dan penerima bantuan hukum.
(5) Kuasa Pengguna Anggaran menyimpan seluruh bukti pengeluaran anggaran sesuai
ketentuan.
(6) Bendahara pengeluaran melakukan pembukuan setiap transaksi keuangan untuk
penyelenggaraan Pos Bantuan Hukum sesuai ketentuan.
(7) Panitera/Sekretaris melaporkan pelaksanaan pos bantuan hukum melalui SMS
Gateway dan laporan lainnya sesuai ketentuan.


Referensi
•    Undang-Undang Dasar 1945
•    Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
•    Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
•    Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2010

ANALISIS DARI SUDUT KONSEP KESALAHAN DAN PERBUATAN PIDANA TERHADAP KASUR KORUPSI MUHAMMAD NAZARUDDIN

Abstrak

Nama Muhammad mulai banyak diperbicangankan ketika dirinya dituduh terlibat dalam kasus suap Sesmenpora Wafid Muharram. Nazaruddin dituduh menjadi aktor dibalik kasus ini sebagaimana disampaikan Kamarudin Simanjuntak yang merupakan kuasa hukum dari salah seorang tersangka Mindo Rosalina Manulang. Menurut Kamarudin Simanjuntak kliennya hanya disuruh oleh salah seorang anggota Parpol yang kemudian diketahui adalah Muhammad Nazaruddin.  Walaupun sempat berkelit dan beberapa kali melontarkan pembantahan namun akhirnya Nazaruddin bisa ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus ini. Namun naas sehari sebelum ditetepkan sebagai tersangka Nazaruddin berhasil melarikan diri keluar negeri dengan alasan pemeriksaan kesehatan

Pada saat kasus ini mencuat Nazaruddin merupakan bendahara umum dari Partai yang berkuasa saat ini yaitu partai Demokrat. Kasus ini secara tidak langsung membuat pamor dan citra partai Demokrat turun di masyarakat. Menilik latar belakang seorang Muhammad Nazaruddin ternyata sebelum terjerat kasus ini Nazaruddin pernah menjadi tersangka kasus pemalsuan dokumen.Hal itu diduga dilakukannya agar perusahaan miliknya, PT Anugerah Nusantara memenuhi persyaratan mengikuti proyek tender pengadaan di Departemen Perindustrian yang nilainya sekitar Rp100 miliar.Kasus Ini terjadi pada tahun 2005 dan Nazaruddin sempat diperiksa di Polda Metro Jaya. Namun entah kenapa tiba-tiba keluar SP-3 terhadap kasus ini . Selain itu salah kasus yang sempat hangat diperbincangkan yang terkait dengan Nazaruddin adalah kasus percobaan penyuapan yang dilakukan Nazaruddin terhad Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, Janedjri M Gaffar. Kasus ini langsung diungkapkan oleh ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D. Nazaruddin dalam kasus ini memberikan amplop yang berisi sejumlah uang kepada Sekjen MK tanpa ada alasan yang jelas. Itulah beberapa kasus yang melibatkan Muhammad Nazaruddin

Setelah ditetapkan menjadi tersangka Muhammad Nazaruddin justru menghilang dan sulit untuk kembali ke Indonesia. Kemudian Nazaruddin menjadi salah seorang buronan Interpool. Pada akhirnya pria kelahiran 26 Agustus 1978 tertangkap di Kolumbia. Sempat melanglang buana ke beberapa negara seperti Singapura dan Malaysia Nazaruddi akhirnya tertangkap di Kolumbia. Nazaruddin tertanggkap pada tanggal 7 agustus 2011 di Bogota Kolumbia . Sebelum tertangkap Nazaruddin sempat membeberkan bebarapa kasus terutama yang berkenaan dengan Kongres Partai Demokrat dan juga tuduhannya terhadap rekayasa kasus yang dilakukan oleh KPK.




Pembahasan

a.    Pengertian Korupsi

Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption sama seperti penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :  Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Selain itu terdapat pengertian korupsi dalam undang-undang antara lain :
Dalam Undang undang nomor 3 Tahun 1971 pengertian korupsi tertuang dalam pasal 1 ayat 1 a dan b yang berbunyi
1.a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
       b. barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Sementara itu dalam undang-undang nomor 31tahun 1999 definisi korupsi tertuang dalam pasal 2 ayat 1 dan 3 yang berbunyi :

Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).


Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dari pengertian-pengertian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan terutama yang berkenaan dengan unsur-unsur korupsi antara lain :
•    Perbuatan Melawan Hukum
•    Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
•    Menyalahgunakan wewenang
•    Menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara


b.    Pengertian Perbuatan Pidana dan Kesalahan

Perbuatan pidana adalah adalah kelakukan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan (van Hamel). Jadi perbuatan pidana adalah kelakuan dan akibat dari suatu hal ikhwal kejahatan dan pelanggaran.   Selain itu terdapat pula unsur pidana dalam perbuatan pidana yaitu  :
1. Perbuatan itu berujud suatu kelakuan (baik aktif maupun pasif)     yang berakibat timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.
2.Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum (baik hukum itu dalam pengertiannya yang formal/tertulis maupun dalam pengertian material/tidak tertulis.
3.Adanya hal-hal/ keadaan tertentu yang menyertai terjadinya     kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum, baik yang berkaitan dengan diri pelaku perbuatan pidana dan tempat  terjadinya perbuatan pidana.

Sedangkan Pengertian Kesalahan adalah Kesalahan dalam arti luas dapat disamakan dengan “pertanggung jawaban dalam hukum pidana”. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat ahli :


1. Menurut Mezger
Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk     adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana.

2. Menurut Simons
Kesalahan adalah adanya keadaan psikis tertentu pada orang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara     keadaan psikis dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa hingga orang dapat dicela kerana melakukan perbuatan tadi.

3. Menurut van Hamel
Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis,     perhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya, dengan kata lain kesalahan adalah pertanggung jawaban dalam hukum (Schuld is de verent-woordelijkheid).

     4. Menurut Pompe
Pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahan, biasanya     sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya yang     berhubungan dengan kehendak pelaku adalah kesalahan.
Kesalahan dapat dilihat dari dua sudut:
a. Dari akibatnya, kesalahan adalah yang dapat dicela (verwijbaar)
b. Dari hekekatnya, kesalahan adalah hal yang dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid).

    5. Menurut Moeljatno
Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika  pada waktu dia melakukan perbuatan pidana. Dilihat dari segi masyarakat dapat dicela mengapa dia melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya seharusnya dia dapat menghindari perbuatan tersebut. Perbuatan itu memang sengaja dilakukan, padahal dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan masyarakat. Kecuali orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana, tetapi karena tidak sengaja, karena alpa atau lalai kewajiban yang oleh masyarakat dipandang seharusnya (sepatutnya) dijalankan olehnya.

Analisis

Untuk mengetahui apakah perbuatan yang dilakukan oleh Muhammad Nazaruddin merupakan sebuah tindak pidana korupsi dan apakah perbuatan tersebut dapat dikatakan termasuk perbuatan pidan dan mempunyai kesalahan maka harus diadakan analisis.

a.    Analisa apakah perbuatan Nazaruddin merupakan tindak pidana korupsi?
Dalam menentukan apakah seseorang melakukan tindak pidan korupsi maka kita harus melihat apakah perbuatan orang tersebut memenuhi unsur-unsur perbuatan yang dapat dikatan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi. Sebagaimana kita ketahui dari pembahasan  diatas unsur-unsur dari tindak pidana korupsi adalah :
•    Perbuatan Melawan Hukum
•    Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
•    Menyalahgunakan wewenang
•    Menyebabkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara

Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Nazaruddi adalah dia menjadi perantara dalam kasus ini yang menghubungkan antara sesmenpora wafid muharram dan PT PT DGI (Duta Graha Indah) sebagai partner dalam tender wisma atlet sea Games melalui perantara Mindo Rosalina Manulang. Dalam beberapa pertemuan antara Nazaruddin, Wafid Muharram dan Mindo Rosalina Manulang diperoleh kesepakatan bahwa PT DGI akan menjadi salah satu rekanan yang akan terlibat dalam pembangunan wisma atlet dan Mindo Rosalina Manulang menjadi pengawas dalam hal ini.

Nazaruddin yang saat itu duduk sebagai salah seorang anggota badan anggaran DPR RI juga menjanjikan bahwa PT DGI akan menjadi salah satu rekanan yang akan menjadi menjadi pelaksana proyek dan mengarahkan untuk mengurus ke daerah karena proyek tersebut merupakan tanggung jawab Pemprov Sumatera Selatan. Dan dari apa yang dia lakukan Nazaruddin menerima sejumlah uang dan sampai tertanggkap Nazaruddi telah menerima Rp4,43 miliar. Cek tersebut diberikan pada Februari 2011 di kantor PT Anak Negeri (Kantor Permai Grup) yang diterima oleh dua staf keuangannya yaitu Yulianis dan Oktarina Furi.

Sedangkan unsur yang kedua adalah memperkaya diri sendiri telah jelas bahwa dalam memerankan perannya Nazaruddin menerima sejumlah imbalan. Namun besarnya imbalan yang dia terima baru sekitar Rp.4,43 miliar.

Unsur ketiga yaitu menyalah gunakan wewenang sebagai anggota DPR RI yang duduk di badan anggaran Nazaruddin justru menjadi otak dalam permainan anggaran yaitu dengan menentukan pihak-pihak yang akan menjadi pelaksana tender namun pihak yang ditunjuk harus memberikan sejumlah uang kepadanya sebagai imbalan atas jasanya tersebut.

Dan Unsur yang terakhir yaitu menimbulkan kerugian negara hal ini bisa kita lihat jelas apabila sebuah tender atau proyek yang seharusnya bernilai Rp 1 Triliun kemudian dikurangi dengan imbalan terima kasih sebesar 10 % yaitu sebesar Rp.100 Miliar maka tender tersebut tidak akan maksimal bahkan akan cenderung asal-asalan. Sebagai contoh nyata banyak jalan-jalan yang dibangun dengan dana yang besar namun hanya bertahan beberapa tahun bahkan ada yang hanya dalam hitungan beberapa bulan. Sehingga menimbulkan terjadinya kerugian dalam keuangan negara

Dari semua unsur dalam korupsi telah terbukti dan jelas dilkukan oleh Nazaruddin sehingga perbuatan yang dilakukan olehnya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi


b.    Analisa apakah perbuatan Muhammad Nazaruddin dapat diketegorikan sebagai perbuatan pidana dan kesalahan

Perbuatan pidana adalah adalah kelakukan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan (van Hamel). Jika kita teliti pengertian dari perbuatan pidana maka apa yang diakukan oleh Nazaruddin telah memenuhi pengertian tersebut. Perbuatan yang dilakukan oleh Nazaruddin sudah dirumuskan dalam Undang-undang baik dalam undang nomor 3 tahun 1971 maupun undang-undang nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang nomor 20 Tahun 2001.Selain itu perbuatan yang dilakukan oleh Nazaruddin juga bersifat melawan hukum sebagaimana yang telah kami jelaskan diatas serta patut untuk dipidana.

Dan untuk menentukan apakah ada kesalahan yang dilakukan oleh Nazaruddin maka kita coba lihat pengertian dari kesalahan itu sendiri Menurut Moeljatno Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika  pada waktu dia melakukan perbuatan pidana. Dilihat dari segi masyarakat dapat dicela mengapa dia melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dan karenanya seharusnya dia dapat menghindari perbuatan tersebut. Perbuatan itu memang sengaja dilakukan, padahal dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan masyarakat. Kecuali orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana, tetapi karena tidak sengaja, karena alpa atau lalai kewajiban yang oleh masyarakat dipandang seharusnya (sepatutnya) dijalankan olehnya.

Jika melihat pengertian diatas maka Nazaruddi dapat dipastikan mempunyai kesalahan karena dia secara pasti telah mengetahui kerugian yang akan timbul dari perbuatannya dan dilakukan secara sengaja. Kami dapat mengatakan bahwa Nazaruddin secara pasti mengetahui kerugian yang akan timbul karena pada saat terjadinya kasus ini dia menjabat sebagai anggota komisi III DPR RI yang bertugas dalam bidang hukum. Secara otomatis sia mengetahui bahwa apa yang dia lakukan sebenarnya bertentanggan dengan undang-undang serta melawan hukum dan akan merugikan negara namun dia sengaja melakukan perbuatan ini untuk memperoleh keuntungan dan memperkaya dirinya sendiri

Kesimpulan

Dari pembahasan dan analisa diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Muhammad Nazaruddin merupakan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan mempunyai kesalahan.


Penutup

Dalam teori hukum pidana tradisonal dikenal istilah mala in se dan mala pohibita yang kemudian dalam hukum pidana modern dikenal dengan istilah wetsdelicten dan rechtsdelicten dan hemat kami korupsi merupakan perbuatan pidana yang termasuk dalam mala in se atau rechtsdelicten yang sebenarnya tanpa memerlukan undang-undang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang sifat melawan hukumnya telah diketahui.

Harapan kami dengan sedikit tulisan kami dapat memberikan sedikit pengetahui bagi kita semua umumnya dalam bidang hukum pidana dan khususnya dalam tindak pidana korupsi

Referensi

•    VIVAnews.com, Kamis 28 April 2011.
•    http://dalangkoruptor.blogsidak.com/2011/03/01/pengertian-korupsi/
•    Hand Out mata kuliah Hukum Pidana
•    Okezone.com rabu 13 Juli 2011
•    Undang undang nomor 3 Tahun 1971
•    Undang undang nomor 31 Tahun 1999
•    Undang undang nomor 20 Tahun 2001
•    Kelsen,Hans Teori umum tentang Hukum dan Negara Nusa media Bandung 2008

Kamis, 15 Desember 2011

review pelajaran 2

HUKUM TATA NEGARA

Good Governance adalah sebuah bentuk ideal dari mekanisme, tata cara, peranan pemerintah yang baik. Menurut Katheren Michael(Bank dunia untuk governance&socilty untuk Asia Timur), kualitas dari suatu pemerintahan yang baik adalah mampu memberantas dan mengentaskan kemiskinan rakyatnya dan menjamin keadilan bagi rakyatnya.

Ada dua komponen yang mempengaruhi good Governace, yaitu :
  1. Rakyat yang bertanggung jawab, aktif, dan memiliki kesadaran
  2. Pemerintah yang mau mendengarkan, terbuka, tanggap, dan melibatkan diri dalam segala persoalan
Keberhasilan suatu pemerintah dalam mencapai Good Governance apabila kedua komponen tersebut saling mendukung dan saling memlengkapi, dengan kunci utama adalah saling percaya (trust). Namun, pada kenyataannya pemerintahan kita belum mampu mencapai Good Governance. Karena Pemerintah belum mampu memberantas kemiskinan yang tersebar diseluruh Indonesia dan belum mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Salah satu penyebab kemiskinan semakin meraja-lela dinegara kita ini adalah KORUPSI yang dilakukan oleh sejumlah oknum. Seperti yang telah dilansir oleh Transparancy Internasional Indonesia, negara Indonesia menempati urutan ke-13 dari 146 negara terkorup di dunia.

Indikator paling buruk yang terjadi karena korupsi adalah adanya diskomunikasi antara :
  • Pemerintah dengan Pemerintah ( governance to governance)
  • Pemerintah dengan Rakyat (governance to people)
  • Rakyat dengan Rakyat ( People to people)

Rabu, 14 Desember 2011

review pelajaran


Huft malas kali menulis…mata nie dah ngantuk kayanya…tapi klo ga nulis harus nyoba lagi dari awal…mau ga mau harus nulis…hmmmmm kira2 nulis apa ea?????hmmmmm gimana klo tentang pelajaran z yg td di ajarkan….hari ini, hari rabu jadwalnya hukum pidana sama asuransi syari’ah…seingatQ ( tanpa buKa buku nie ea…!!) Makul Hukum Pidana tadi membicarakan Tindak Pidana Kesusilaan, yang pertama dibahas itu tentang aturan dari pasal 282 KUHP (klo ga salah nie ea….hmmm mikirny lama nie) mengenai larangan seseorang yang melanggar aturan kesusilaan dengan sengaja didepan umum dikenai pidana kurungan selama maksimal 2 tahun dan denda 4500 rupiah. Nah, bapaknya tadi ngasih contoh tentang ini, yang termasuk dalam pidana init uh adalah apabila ada seorang perempuan yang dengan sengaja membuka atau menanggalkan pakaiannya dimuka umum, maka bisa dikenakan pidana tersebut.
Trus selain itu, tindak pidana tersebut jg dapat disanksikan kepada org yang melakukan pelanggaran terhadap aturan asusila di dalam ruangan tertutup ( dlm artian dilukis atau di fhoto atau divideo) kemudian apa yang dilakukannya tersebut bisa/dapat dilihat org lain. Habis itu tentang tindak pidana perzinahan yang disebut juga overspel, seseorang itu dapat dikenakan tindak pidana perzinaan apabila dilakukan oleh seorang laki2 yang sudah menikah bergaul dengan seorang perempuan yang sudah menikah tetapi mereka bukan dalam satu ikatan pernikahan (pasangan selingkuh), atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang laki2 yg belum menikah menggauli seorang wanita yg telah menikah, atau sebaliknya. Tindak pidana tersebut hanya dapat diberikan atau ditindak lanjuti apabila adanya suatu pengaduan baik dari pihak suami ataupun dari pihak istri.
Hmmmm terus ada juga masalah pemerkosaan atau disebut juga dengan verkrechting yang diatur dalam pasal 285 sampe 288 KUHP, nah di pasal 297 tu diatur mengenai perdagangan manusia alias trafficking ( klo ga slah sie tulisannya gitu ),,klo menurut analisis masalah itu td dikelas, manusia itu ga bisa di jadikan objek hukum, karena manusia itu termasuk dalam bagian orang perorang atau badan hukum alis subjeknya hukum….
Laen lagi mata kuliah asuransi syaria’ah…tadi bapaknya menjelaskan pake alat peraga banyak banget…. Yang bikin mencengangkan tu bapaknya ternyata mengikuti banyak banget asuransi, mulai dari asuransi jiwa, kesehatan, pendidikan anak, sampe mobil… ada juga yg berinvestasi lewat asuransi…wajar sie,, kan bapaknya bisa dibilang pakar atau ahli disana… yang jelas tadi itu bapaknya menjelaskan lebih lanjut masalah pertanyaan yang aQ ajukan tempo hari,,,pertanyaanQ adalah perbedaan mendasar antara asuransi jiwa dan asuransi kesehatan…bapaknya menjawab bahwasanya perbedaan tersebut ada pada pembayaran premi yang lebih mahal di asuransi kesehatan ketimbang di asuransi jiwa…alasannya adalah kalo asuransi jiwa itu hanya menangani masalh yang bersangkutan dgn kecelakaan, misalnya saja meninggal, kecelakaan, cacat akibat kecelakaan, dsb. Nah yg berhak mendapatkan keseluruhan uang premi tsb adalah ahli waris. Orang yang sengaja bunuh diri , bisa dikatakan dananya hangus karena bukan termasuk persyaratan pemerimaan uang premi.
Trus klo asuransi kesehatan itu kenapa lebih mahal???karena asuransi kesehatan itu mengacu pada kelangsungan hidup seseorang guna menghindari dari berbagai macam penyakit termasuk didalamnya 33 macam penyakit kronis. Namanya juga sakit ga kan pernah kita duga kapan datangnya, nah oleh dari itu…asuransi kesehatan itu fungsinya sebagai jaminan apabila terserang penyakit,,,orang yang ingin mengikuti asuransi ini adalah orang yang maksimal berumur 55 thn. Dan ketika mengikuti asuransi ini, harus mengatakan sejujur2ny tentang kondisi yang sedang dialami, apabila tidak jujur dan dikemudian hari diketahui bahwa orang tersebut berbohong, maka perjanjian asuransi yang dilakukan dianggap batal demi hukum. Segitu z dulu…besok sambung lagi…
Yogyakarta, 14 desember 2011