1.
Pengertian Asuransi dan Sejarahnya
Asuransi dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan dua kata yaitu assurance[1] dan insurance[2] yang artinya antara lain formal guarantee, the action or means of ensuring or making certain, guarantee. Menurut E R Hardy Ivamy, insurance is a contract whereby one person, called the ‘insurer’ undertakes in return for the agreed consideration, called ‘premium’ to pay another person called ‘assured/insured’ a sum of money or its equivalent on the happening of a specified event.[3] (Suatu kontrak di mana seorang, disebut ‘penjamin’ asuransi, yang menjalankan, sebagai balas jasa atas imbalan yang telah disetujui yang disebut ‘premi’, untuk membayar orang lain yang diasuransikan, yang disebut ‘tertanggung’, sejumlah uang, atau yang senilai, atas suatu kejadian tertentu). Peristiwa tertentu itu harus unsur yang tidak menentu; peristiwa tersebut mungkin berupa (a) masalah asuransi jiwa, dalam kenyataan bahwa ternyata peristiwa ini dapat terjadi sebagi kejadian sehari-hari, peristiwa terjadinya tidak tentu waktunya, atau (b) suatu kenyataan bahwa peristiwa yang dialami disebabkan oleh suatu kecelakaan, yang mungkin peristiwa itu tidak pernah dialami sama sekali. Kejadian terakhir tersebut dinamakan kecelakaan.
Dengan kalimat senada, Willet, Kulp, Riegel, Miller dan Peffer, menyatakan bahwa asuransi merupakan konsep pengumpulan resiko dan peran kelompok untuk ikut menanggung kerugian, yaitu orang-orang akan terlindungi dari suatu kerugian atas harta tertentu yang ditentukan berdasarkan persetujuan untuk keikutsertaannya menanggung kerugian berdasarkan pokok-pokok keseimbangan. Resiko tersebut dapat disatukan dalam suatu pengaturan di mana para perserta saling menguntungkan dalam mengasuransikan dirinya dalam suatu rancangan yang disusun sedemikian rupa, sehingga menjadi “asuransi mutual,” atau mungkin dapat ditransfer menjadi suatu organisasi, yang berdasarkan pertimbangan, disebut “premi”, yaitu kerelaan menerima resiko dan membayar akibat kerugian yang dialami.
Sedangkan menurut Mohammad Muslehuddin, asuransi adalah persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing menghadapi kerugian kecil akibat sesuatu yang tidak dapat diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka yang menjadi perkumpulan itu, maka kerugian itu akan ditanggung bersama oleh mereka.[4]
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 (tentang Usaha Perasuransian), pasal 1, asuransi adalah:
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meinggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[5]
Dengan
demikian, asuransi, makna substantifnya adalah sebuah akad yang merupakan alat
ekonomi untuk memindahkan resiko kepada insurer (perusahaan asuransi)
yang mengharuskannya untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (insured/assured)
sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu ketika terjadi bencana
maupun kecelakaan sebagaimana tertera dalam akad (kontrak), sebagai imbalan
dari uang (premium) yang dibayarkan oleh nasabah (insured) secara rutin
dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut kepada perusahaan asuransi.[6]
Dari sini dapat dipahami bahwa suatu kontrak asuransi melibatkan
lima syarat pokok yaitu:
- harus ada pihak yang mengadakan kontrak,
- peristiwa (musibah) yang dialami harus tidak mengandung unsur kesengajaan,
- harus ada kesepakatan mengenai jumlah besarnya uang, atau harta yang memiliki nilai yang memungkinkan untuk menjamin bagi orang yang diasuransikan apabila mengalami musibah;
- besarnya uang pertanggunan telah ditentukan bagi penanggung asuransi sebagai pengembalian pembayaran premi yang dilakukan oleh orang yang mengasuransikan diri; dan
- ketentuan jenis resikonya harus menyangkut kepentingan pihak yang diasuransikan.[7]
Tujuan asuransi adalah untuk mengadakan persiapan dalam menghadapi
kemungkinan kesulitan yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, seperti dalam
kegiatan perdagangan mereka. Sebenarnya, bahaya kerugian itulah yang mendorong
manusia berupaya untuk mendapatkan cara-cara yang aman melindungi diri dan
kepentingan mereka. Cara-cara itu berbeda-beda sesuai dengan bentuk
kerugiannya. Seandainya kerugian itu disadari lebih awal, maka seseorang itu
akan mengatasinya dengan langkah pencegahan; dan seandainya kerugian itu
sedikit, orang itu akan menanggungnya sendiri; tetapi seandainya kerugian itu
tidak dapat diduga dengan lebih awal serta banyak jumlahnya sampai tidak dapat
dicegah atau diatasi sendiri, tentunya itu akan menimbulkan kesulitan baginya.
Oleh karena itu, “mencegah kerugian” atau “mengatasi dan menanggung kerugian
sendiri” tidak dapat dipraktekkan secara luas. Dalam keadaan seperti ini,
seseorang itu akan rugi sama sekali seandainya tidak ada bantuan dari
masyarakat atau kelompoknya. Kerugian seperti itu tidak besar artinya bagi
seluruh masyarakat, tetapi bagi seorang individu hal itu merupakan suatu suatu
kerugian besar seandainya dia menghadapi sendiri. Inilah latar belakang teori asuransi
yang dibentuk untuk tujuan menghadapi resiko kerugian yang tidak diduga baik
waktunya maupun jumlahnya. Dari sini timbul pertanyaan, apakah itu benar-benar
merupakan suatu kerugian atau hanya kemungkinan rugi, yaitu risiko yang
dilindungi asuransi?
Ada yang mengatakan bahwa asuransi merupakan suatu upaya untuk
melindungi kerugian dan ada pula yang berpendapat bahwa asuransi merupakan
suatu cara menghadapi resiko.[8] Mengenai
kerugian ini, Adam Smith berpendapat bahwa cara asuransi membagi-bagikan
kerugian yang dialami oleh individu kepada orang banyak dapat memberi
keringanan dan kesenangan kepada seluruh anggota masyarakat. Wagner,
sebagaimana dikutip Muslehuddin, membuktikan hal tersebut dengan merumuskan
teori kerugian sebagai berikut:
Perkataan asuransi menurut pengertian ekonomi adalah memaparkan
suatu bentuk susunan ekonomi untuk memindahkan atau mengurangi kemungkinan
akibat dari suatu peristiwa yang tidak baik yang akan terjadi; bergantung
kepada sejauhmana keadaan (vermogen)
kekhawatiran seseorang itu. Kemungkian peristiwa itu tidka dengan sengaja menimpa seseorang, oleh karena itu setiap
adanya suatu peristiwa maka hal itu merupakan peristiwa yang tidak terduga.
Asuransi mengendalikan keadaan ini untuk menaksir kadar akibat yang akan
menimpa berpedoman satu daftar (reihe) kejadian yang diduga dengan satu bentuk
bahaya yang tidak benar-benar terjadi.[9]
Sedangkan
Willet berpendapat bahwa pentinya asuransi itu terletak pada kemampuannya untuk
memindahkan resiko ketidakpastian dan tidak jelas itu ke dalam biaya tetap
dengan cara penggabungan. Menurutnya, sungguh pun resiko itu subyektif dan
tidak dapat diobyektifkan, namuan hal itu dapat diukur dengan berpedoman kepada
pengalaman dan peristiwa yang lalu.[10] Risiko
dapat diukur seandainya sejumlah besar risiko ataupun kejadian yang lalu itu
dikumpulkan untuk diambil rata-rata secara umum. Dengan kata lain, probabilitas
dari fenomena yang banyak itu dapat dibuat ramalannya berdasarkan sekelompok
ukuran yang sama.[11]
Beberapa buku
tentang asuransi menyebutkan perkembangan asuransi sebagai berikut:
Babylonians around 2250 BC | From archaeological discoveries of Babylon notably the Code of Hammurabi it was clear that these ancient people evolved and practised a commercial contract later to be used and known as "contract of bottomry" (see below). It should be noted that the Code of Hammurabi forbids usury. It likely therefore that the Babylonian version of "bottomry" contract was free from usury. |
Phoenicians | The Phoenicians who were neighbours with the Babylonians through their extensive tradings could have adopted the practice of the said commercial contract and maybe even perfected it. |
Greeks around 9th and 10th Century BC | The Phoenicians could have passed the knowledge of bottomry to the Greeks during the ninth and tenth centuries BC. The ancient Greeks (with the exceptions of the Spartans) were known to have charged heavy interest. It is possible at this stage in history that the "bottomry" contract which was previously free of interest would become usurious. |
Romans around 7th Century BC | The Greeks in turn could have passed the knowledge of this contract to the Romans either in the seventh century or later, when the Roman Commission on law went to Athens in the fifth century BC |
Dark Ages | Western historian are vague about the development of insurance during this period. |
Around 13th Century A.D. | first known "insurance agreement" executed at Genoa on 13th October 1347. |
Around 14th/15th
Century
|
Italian
Merchants (Lombards) brought marine insurance to England.
|
2. Definisi & Arti Kata Takaful
Secara bahasa, takaful (تكافل) berasal dari akar kata (ك ف ل) yang artinya menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang. Kata (تكافل ) merupakan bentuk mashdar (infinitf) dari kata : يَتَكَافَلُ – تَكَافُلاً- تكافل
Dalam Kamus Al-Munawir dijelaskan bahwa arti kata kafala yang merupakan kata dasar dari takaful adalah : pertanggungan yang berbalasan, hal saling menanggung.
Istilah kata ( تكافل ) ini merupakan istilah yang relatif baru, jika dilihat tidak satupun ayat-ayat Al-Qur'an menggunakan istilah takaful ini. Bahkan dalam hadits pun, juga tidak dijumpai kata yang menggunakan istilah takaful ini. Namun secara sistem keukhuwahan, takaful sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya melalui ukhuwah dalam kehidupan bermasyarakat di Madinah pada waktu itu sebagaimana yang banyak digambarkan oleh hadits.
3. Kata 'Takaful' Dalam Al-Qur’an (لفظ تكافل في
القرآن الكريم)
Dalam Al-Qur’an tidak dijumpai satu ayatpun yang secara tersurat menggunakan kata ‘takaful’. Demikian juga dalam hadits. Namun demikian, terdapat sejumlah kata (delapan kata dalam delapan ayat) yang menggunakan kata yang seakar dengan kata takaful, yaitu dari kata ( كفل ).
Kata-kata yang berakar dari kata ( كفل ) tersebut, secara umum keseluruhannya mengarah pada makna : a. Memelihara. b. Memikul (resiko)
Takaful dengan pegertian seperti ini sesuai dengan firman Allah SWT (QS. Al-Maidah : 2) :
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong menolonglah kalian
dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam
perbuatan dosa dan permusuhan”
Dalam Al-Qu’an disebutkan akar kata Takaful beberapa
kali, di antaranya:
1) Dalam QS. Ali Imran/ 3 : 37
فَتَقَبَّلَهَا
رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا
زَكَرِيَّا
"Maka Tuhannya
menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan
pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya." Dalam
ayat di atas, kata kafala bermakna 'memelihara'. (lihat yang bergaris bawah).
Dan 'memelihara' memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan sekedar
menjaga. Karena memilihara memiliki unsur adanya 'rasa menyayangi', sebagaimana
orang tua memilihara anak kandungnya. Dengan demikian, maka 'takaful' adalah
saling menjaga dan memelihara antara sesama muslim dengan landasan saling
sayang menyayangi diantara mereka.
2) Dalam QS. Ali Imran/ 3 : 44 :
وَمَا كُنْتَ
لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلامََهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا
كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ
"Padahal kamu tidak
hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk
mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak
hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa."
3) Dalam QS. Annisa/ 4 : 85 :
وَمَنْ يَشْفَعْ
شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ مُقِيتًا
Dan barangsiapa yang
memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa)
daripadanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
4) Dalam QS. Al-Qashas/ 28 : 12
وَحَرَّمْنَا
عَلَيْهِ الْمَرَاضِعَ مِنْ قَبْلُ فَقَالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَهْلِ
بَيْتٍ يَكْفُلُونَهُ لَكُمْ وَهُمْ لَهُ نَاصِحُونَ
"dan Kami cegah Musa
dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui (nya) sebelum itu;
maka berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul
bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik
kepadanya?".
5) Dalam QS. Shad/ 38 : 23
إِنَّ هَذَا أَخِي
لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ وَاحِدَةٌ فَقَالَ
أَكْفِلْنِيهَا وَعَزَّنِي فِي الْخِطَابِ
"Sesungguhnya
saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku
mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu
kepadaku(untuk aku pelihara) dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan".
6) Dalam QS. An-Nahl/ 16 : 91 :
وَأَوْفُوا
بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا ْالأَيْمَانَ بَعْدَ
تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلاً
"Dan tepatilah
perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan
sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan
Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu)."
7) Thaha/ 20 : 40 :
إِذْ تَمْشِي
أُخْتُكَ فَتَقُولُ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَنْ يَكْفُلُهُ
"(yaitu) ketika
saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada (keluarga Fir`aun):
'Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?"
8) Dalam QS. Al-Hadid/ 57 : 28
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَءَامِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ
كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Hai orang-orang yang
beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada
Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan
menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia
mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat di atas menunjukkan bahwa arti kata ( كفلين ) adalah dua bagian. Artinya bahwa ( كفل ) salah satu artinya adalah bagian. Dan dalam bertakaful, seseorang harus merasa menjadi ‘bagian’ dari orang lain. Sehingga terwujudlah kehidupan yang bertaawun satu sama lainnya, seperti satu tubuh sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya.
Menurut para ulama yang pakar dalam hukum Islam, dalam sejarah hukum Islam terdapat konsep yang mengarah pada konsep asuransi berdasarkan Syari’ah Islam, yaitu al-‘aqilah. Al-‘aqilah merupakan kebiasaan yang dipraktikkan pada zaman pra-Islam yang kemudian diterima oleh Nabi Muhammad SAW melalui hadisnya ketika mengadili dua wanita dari suku Huzail. Al-‘aqilah merupakan konsep saling memikul atau bertanggungjawab untuk keluarganya. Jika salah satu anggota suku terbunuh oleh anggota suku lain, pewaris korban akan dibayar dengan uang darah (diyat) sebagai kompensasi saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut ‘aqilah. Lalu, mereka mengumpulkan dana yang mana dana tersebut untuk membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak sengaja.[12] ‘Aqilah merupakan istilah yang masyhur dikalangan fuqoha, yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai cikal bakal konsep asuransi syari’ah.[13] Bedanya ‘aqilah merupakan bukan transaksi komersial dan tujuannya untuk semata-mata membantu tanpa ada tuntutan pembayaran kontrak, sedangkan operasional transaksi asuransi Islam pada masa modern selain bertujuan untuk saling tolong menolong juga berorientasi profit sehingga termasuk transaksi komersial.[14] Perusahaan asuransi Islam pertama pada era modern ini adalah berdiri pada tahun 1979 di Sudan.[15]
Di sisi lain terdapat kebiasaan (adat) dalam masyarakat muslim, jika terdapat salah satu anggota masyarakat yang mendapatkan musibah kematian atau sedang mengadakan pesta pernikahan dan menyambut kelahiran anak, mereka akan membantu meringankan beban yang ditanggung oleh salah satu anggota masyarakat tersebut dengan memberikan uang atau barang-barang tertentu.[16]
Di samping terdapat akad-akad lain yang menurut sebagian pakar ekonomi Islam sebagai konsep yang mengarah pada asuransi Islam yaitu: al-Muwalat,[17] al-Qasamah,[18] ‘Aqd al-hirasah,[19] Daman Khatr al-Tariq,[20] al-Wadi‘ah bi ujr,[21] dan Nizam Taqa‘ud.[22] Bentuk-bentuk muamalah ini, karena memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi Islam, oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara profesional.
Meskipun tidak begitu jelas sejak kapan asuransi mulai dipraktekkan dalam Islam, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan ciri-ciri kontrak asuransi yang berlangsung sekarang, transaksi asuransi secara alami telah dipraktekkan sebelum Nabi Muhammad (SAW) dan dikembangkan secara bertahap sampai awal abad ke-19, ketika Ibn Abidin (1784-1836), seorang fuqaha Mazhab Hanafi, mengemukakan pengertian, konsep dan unsur hukum kontrak asuransi.
Perkembangan asuransi dalam Islam dapat dikelompokkan menjadi 6 tahap:
Ayat di atas menunjukkan bahwa arti kata ( كفلين ) adalah dua bagian. Artinya bahwa ( كفل ) salah satu artinya adalah bagian. Dan dalam bertakaful, seseorang harus merasa menjadi ‘bagian’ dari orang lain. Sehingga terwujudlah kehidupan yang bertaawun satu sama lainnya, seperti satu tubuh sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya.
Menurut para ulama yang pakar dalam hukum Islam, dalam sejarah hukum Islam terdapat konsep yang mengarah pada konsep asuransi berdasarkan Syari’ah Islam, yaitu al-‘aqilah. Al-‘aqilah merupakan kebiasaan yang dipraktikkan pada zaman pra-Islam yang kemudian diterima oleh Nabi Muhammad SAW melalui hadisnya ketika mengadili dua wanita dari suku Huzail. Al-‘aqilah merupakan konsep saling memikul atau bertanggungjawab untuk keluarganya. Jika salah satu anggota suku terbunuh oleh anggota suku lain, pewaris korban akan dibayar dengan uang darah (diyat) sebagai kompensasi saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh disebut ‘aqilah. Lalu, mereka mengumpulkan dana yang mana dana tersebut untuk membantu keluarga yang terlibat dalam pembunuhan tidak sengaja.[12] ‘Aqilah merupakan istilah yang masyhur dikalangan fuqoha, yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai cikal bakal konsep asuransi syari’ah.[13] Bedanya ‘aqilah merupakan bukan transaksi komersial dan tujuannya untuk semata-mata membantu tanpa ada tuntutan pembayaran kontrak, sedangkan operasional transaksi asuransi Islam pada masa modern selain bertujuan untuk saling tolong menolong juga berorientasi profit sehingga termasuk transaksi komersial.[14] Perusahaan asuransi Islam pertama pada era modern ini adalah berdiri pada tahun 1979 di Sudan.[15]
Di sisi lain terdapat kebiasaan (adat) dalam masyarakat muslim, jika terdapat salah satu anggota masyarakat yang mendapatkan musibah kematian atau sedang mengadakan pesta pernikahan dan menyambut kelahiran anak, mereka akan membantu meringankan beban yang ditanggung oleh salah satu anggota masyarakat tersebut dengan memberikan uang atau barang-barang tertentu.[16]
Di samping terdapat akad-akad lain yang menurut sebagian pakar ekonomi Islam sebagai konsep yang mengarah pada asuransi Islam yaitu: al-Muwalat,[17] al-Qasamah,[18] ‘Aqd al-hirasah,[19] Daman Khatr al-Tariq,[20] al-Wadi‘ah bi ujr,[21] dan Nizam Taqa‘ud.[22] Bentuk-bentuk muamalah ini, karena memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi Islam, oleh sebagian ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara profesional.
Meskipun tidak begitu jelas sejak kapan asuransi mulai dipraktekkan dalam Islam, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan ciri-ciri kontrak asuransi yang berlangsung sekarang, transaksi asuransi secara alami telah dipraktekkan sebelum Nabi Muhammad (SAW) dan dikembangkan secara bertahap sampai awal abad ke-19, ketika Ibn Abidin (1784-1836), seorang fuqaha Mazhab Hanafi, mengemukakan pengertian, konsep dan unsur hukum kontrak asuransi.
Perkembangan asuransi dalam Islam dapat dikelompokkan menjadi 6 tahap:
- Praktek doktrin al-aqilah di antara suku-suku Arab kuno. Banyak ensiklopedia membenarkan fakta bahwa ciri-ciri praktek asuransi berasal dari praktek-praktek Arab kuno,[23] di mana praktek asuransi menjadi adat kebiasaan di kalangan suku-suku Arab yaitu ketika anggota suatu suku dibunuh oleh anggota suku yang berbebda, maka ahli waris si korban akan menerima sejumlah pembayaran uang darah sebagai kompensasi yang dibayarkan oleh keluarga dekat si pembunuh. Kelurga dekat si pembunuh tersebut dinamakan Aqila’ dalam istilah Arab. Pembacaan terhadap bangsa Arab pada waktu itu yang membayar uang darah tampak sebagai sebuah perlindungan keuangan bagi keluarga yang ditinggalkan akibat kematian si korban.[24]
- Praktek Rasullah (SAW): perkembangan praktek asuransi pada masa Rasullah SAWdapat dijelaskan dengan contoh penerimaan bangsa Arab terhadap praktek ‘āqila’. Nabi Muhammad SAW sendiri menerima konsep āqila sebagaimana dipraktekkan oleh suku-suku Arab. Ini dapat dibuktikan oleh beberapa hadis. Misalnya: dalam suatu hadis yang diriwatkan oleh Abu Hurairah r.a., dia mengatakan bahwa suatu ketika dua orang wanita dari suku Huzail berkelahi ketika salah satu mereka memukul lawannya dengan batu dan membunuh perempuan itu dan bayi yang dikandungnya. Keluarga korban mengangkat kasus tersebut kepada Nabi s.a.w. yang memberi putusan bahwa kompensasi bagi janin adalah seorang budak laki-laki atau perempuan, sementara kompensasi bagi perempuan tersebut adalah uang darah (dyat) yang harus dibayarkan oleh ‘āqila (kerabat si pembunuh). Berdasarkan latar belakang ini, bayaran diyat adalah contoh asuransi bersama sebagai suatu usaha masyarakat yang bersifat sosial tetapi mempunyai implikasi ekonomi. menurut asuransi bersama, setiap anggota adalah tertanggung dan penanggung asuransi tanpa memandang suatu kepentingan. Ia tidak bertujuan untuk mencari keuntungan, bukan usaha kapitalis,ataupun untuk memperoleh kekayaan dari kerugian orang lain. Pada hakikatnya merupakan institusi sosial yang dibentuk untuk meringankan beban individu dengan membagi-bagi beban itu kepada anggota.[25]
- ada masa sahabat. Perkembangan praktek asuransi lainnya dapat ditemukan pada masa kekhalifahan Umar r.a. Pada masa ini, doktrin ‘Aqila’ semakin didorong oleh pemerintah untuk diterapkan oleh masyarakat. Umar memerintahkan untuk mendirikan ‘Dewan’ Mujahidin di berbagai daerah dan mereka yang nama-nama mereka tercatat di dewan tersebut terikat dalam kerjasama menguntungkan untuk menyumbang dalam uang darah yang terbunuh dari suku mereka sendiri. Jadi, pada masa ini konsep ‘aqila’ yang dikembangkan pada masa khalifah Umar Sayedina Umar yang merefleksikan unsur-unsur praktek asuransi pada masa ini.
- Perkembangan pada abad ke-14 – 17M. Pada abad ke-14-17 M ini sebuah ordo Sufi Kaziruniyyah sangat aktif terutama di kota pelabuhan Malabar dan di Cina dalam memberikan jasa asuransi pelayaran.
- Perkembangan pada abad ke-19. Pada masa ini Ibn Abidin (1784-1836 M), merupakan orang pertama yang membahas tentang asuransi dan unsur hukumnya. Dia juga orang pertama yang merumuskan asuransi dalam konteks hukum positif, bukan lagi dalam konteks adat kebiasaan. Pendapat Ibn Abidin tentang praktek asuransi membuka mata kaum Muslim yang tidak menerima legalitas asuransi dan mendorong mereka untuk menerima gagasan untuk terjun ke bisnis asuransi. Pada masa ini orang-orang Islam mulai mendirikan perusahaan asuransi.
- Periode abad ke-20. Pada masa ini Muhammad Abduh mengeluarkan dua fatwa yang menyebutkan bahwa transaksi asuransi adalah seperti transaksi mudharabah, dan bahwa transaksi yang mirip dengan asuransi jiwa adalah sah.
Berikut
adalah tabel perusahaan asuransi Islam di beberapa negara
INSURANCE COMPANY(S)
|
COUNTRY
|
YEAR
|
The Islamic Insurance Company
|
Sudan
|
1979
|
The Islamic-Arab Insurance Co.
|
Saudi Arabia
|
1979
|
The Islamic-Arab Insurance Co.
|
U.A.E.
|
1980
|
Darul-Mal Al-Islami
|
Geneva
|
1981
|
Syarikat Takaful Al-Islamiyah
|
Bahrain
|
1983
|
Islamic Takaful and Re-Takaful Co.
|
Bahamas
|
1983
|
Islamic Takaful Company
|
Luxembourg
|
1983
|
Al-Barakah Insurance Co.
|
Sudan
|
1984
|
Islamic Insurance and Re-Insurance
Company
|
Bahrain
|
1985
|
Syarikat Takaful Malaysia Sdn.
Bhd.
This company is currently managing nine-other branches throughout the country. |
Brunei
|
1992
|
Syarikat Takaful Brunei
Darus-Salam
|
Brunei
|
1992
|
The PT Syarikat Takaful Indonesia
|
Indonesia
|
1994
|
The Syarikat Takaful Singapore
|
Singapore
|
1995
|
Islamic Insurance Company
|
Qatar
|
1995
|
MNI Takaful Sdn. Bhd.
|
Malaysia
|
1993
|
ASEAN Takaful Group (ATG)
|
Malaysia
|
1996
|
ASEAN Re-Takaful International
(Labuan) LTD (ARIL)
|
Malaysia
|
1997
|
3. Keuntuangan atau Manfaat (Benefits) Asuransi
Beberapa
keuntungan yang bisa diperoleh oleh masyarakat dari praktek asuransi adalah
sebagai berikut:
1.
payment of claim: a person who has met an accident which is covered by
his policy can expect some compensation to enable him to make good his loss;
2.
reduction of uncertainty; the insured’s uncertainty has been exchanged for the
certainty of the premium. This will reduce his uncertainties as it can assist
him to budget his loss expenditure confidently;
3.
efficient use of resources; with insurance businesses are able to free capital
which would otherwise be locked up to guard against various contingencies. When
insurance is bought they need only pay the premium which is a known amount.
4.
reduce dependency on welfare: By having insurance the public is less
dependent on the government for compensation. Through life insurance financial
difficulties arising from old age, disability or death are mitigated.
5.
support credit: Bankers and other financial institutions require the
security of marine insurance in financing international trade. Similarly with
fire insurance for housing loans;
6.
loss control: The community would suffer much greater losses if it
were not for the loss-prevention measures of Insurers who place their knowledge
and experience at the disposal of their policyholders through their surveyors
recommendations. The system of rating which encourages risk improvements by
granting discounts for good features and loading for bad also encourages loss
prevention. Various associations financed wholly or partly also promotes loss
prevention.
4. Asuransi Syariah di Indonesia
Berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994 diprakarsai oleh Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) yang dipelopori ICMI melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan, serta para pengusaha muslim Indonesia, dan diresmikan dengan SK Menkeu No.Kep-385/KMK.017/1994. Hal ini didorong lahirnya Bank Muamalat Indonesia, dengan asumsi bahwa bank syariah membutuhkan lembaga asuransi syariah untuk mendukung permodalan dan memperoleh kepercayaan masyarakat.
Melalui seminar nasional dan studi banding dengan Takaful Malaysia, berdirilah PT Syarikat Takaful Indonesia (PT STI) sebagai Holding Company pada 24 Februari 1994. Anak perusahaannya; PT Asuransi Takaful Keluarga (Life Insurance) dan PT Asuransi Takaful Umum (General Insurance). Izin operasional PT Asuransi Takaful Keluarga keluar pada 4 Agustus 1994, diresmikan Menteri Keuangan, Mar’ie Muhamad, 25 Agustus 1994. Dan, PT Asuransi Takaful Umum diresmikan pada 2 Juni 1995 melalui SK Menkeu No.247/KMK.017/1995, oleh Menristek/Ketua BPPT, B.J. Habibie.
Daftar Nama Lembaga
Asuransi Syariah di Indonesia (2005)
1 PT. Asuransi Takaful
Keluarga Asuransi Keluarga 1994
2 PT. Asuransi Takaful
Umum Asuransi Umum 1995
3 PT. Asuransi Syariah
Mubarokah Asuransi Keluarga 2001
4 PT. MAA Life Assurance Asuransi Keluarga
2001
5 PT. Asuransi Jiwa Asih Great Eastern
Asuransi Keluarga 2002
6 PT. Asuransi Beringin Life Asuransi
Keluarga 2002
7 PT. Asuransi AJB Bumi Putera 1912
Asuransi Keluarga 2002
8 PT. Asuransi Jiwa BNI Jiwasraya Asuransi
Keluarga 2002
9 PT. Asuransi Tripakarta Asuransi Umum
2002
10 PT. Asuransi Bringin Sejahtera
Arthamakmur Asuransi Umum 2003
11 PT. MAA General Assurance Asuransi Umum
2003
12 PT. Asuransi Central Asia Asuransi Umum
2003
13 PT. Asuransi Binagriya Upakara Asuransi
Umum 2003
14 PT. Asuransi
Jasindo Takaful Asuransi Umum 2004
15 PT. Adira
Dinamika Insurance Asuransi Umum 2004
16 PT. Asuransi
Umum Bumiputera Muda 1967 Asuransi Umum 2004
17 PT. Staco Jasa
Pratama General Insurance Asuransi Umum 2004
18 PT. Asuransi
Sinar Mas Asuransi Umum 2004
19 PT. Asuransi
Tokio Marine Indonesia Asuransi Umum 2004
20 PT. Reindo
Syariah Unit Reasuransi 2004
21 PT. Asuransi
Jiwa Ekalife Asuransi Keluarga 2005
22 PT. Asuransi
Panin Life Asuransi Keluarga 2005
23 PT. Asuransi Jiwa AIA
Indonesia Asuransi Keluarga 2005
24 PT. Asuransi Tugu
Pratama Indonesia Asuransi Umum 2005
25 PT. Asuransi Astra
Buana Asuransi Umum 2005
26 PT. Asuransi Ramayana
Asuransi Umum 2005
27 PT. Reasuransi
Nasional Indonesia Asuransi Umum 2005
28 PT. Fresnel Perdana
Mandiri Broker Asuransi 2005
29 PT. Amanah Jamin Indonesia Broker
Asuransi 2005
Sumber :
Dewan Syariah Nasional (DSN), Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI)
[1] Shorter Oxford English Dictionary (2002), ed. 5, Oxford:
Oxford University Press, h. 136; Webster’s Encyclopedic Unabriaged
Dictionary of The English Language (1996), New York: Gramercy Books, h. 91.
[2] Shorter Oxford English Dictionary, h. 1393; Webster’s
Encyclopedic Unabriaged Dictionary of The English Language, h. 738.
[3] Lihat E R Hardy Ivamy (1993), General Principles of Insurance
Law, ed. 6. London: Butterworths, h. 3.
[4] lihat, Mohammad Muslehuddin, Asuransi dalam Islam. 1995.
terj. dari Insurance in Islam oleh Wardana. Jakarta: Bumi Aksara, hal. 3
[5] sebagaimana dikutip oleh Pasaribu. 1996. Hukum Perjanjian dalam
Islam. Jakarta: Sinar Grafika, hal. 84
[6] Hendon Redzuan et al. (2005), Risiko dan I nsurans. Petaling
Jaya: Prentice Hall, h. 54. Lihat juga The New Encyclopaedia Britannica,
(1985) Chicago, Vol. XXI, h. 678; Americana Corporation (1958), The
Encyclopaedia Americana, Vol. 16, New York: Americana Corporation, h. 181;
George E. Redja (2005), Principles of Risk Management and Insurance. Boston:
Addison Wesley, h. 20.
[7] ibid.
[8] Mohammad Muslehuddin. 1995. Asuransi… hal. 4
[9] Muslehuddin, Asuransi…hal. 4
[10] sebagaimana dikutip oleh Muslehuddin, ibid.
[11] ibid
[12] Chaudhry Mohamad Sadiq (1995), op.cit., h. 197; Gordon D.
Newby (2002), A Concise Encyclopedia of Islam. Oxford: Oneworld
Publication, h. 31.
[13] Mohd. Ma’sum Billah (2003a), op.cit., hh. 5-6; Mohd. Ma’sum
Billah (2003b), op.cit., h. 3. Lihat penjelasan lebih panjang dan detail
dalam Mohammad Muslehudin (1978), op.cit., h. 19-26.
[14] Saiful Azhar Rosly (2005), op.cit., h. 495.
[15] Ab. Mumin Ab. Ghani (1999), Sistem Kewangan Islam dan
Pelaksanaannya di Malaysia. Kuala Lumpur: Jabatan Kemajuan Islam Malaysia,
h. 340; Mohd Fadzli Yusof (1996), op.cit., h. 4.
[16] Chaudhry Mohamad Sadiq (1995), op.cit., h. 197.
[17] Perjanjian jaminan. Penjamin menjamin seseorang yang tidak memiliki
waris dan tidak diketahui ahli warisnya. Penjamin setuju untuk menanggung
bayaran dia, jika orang yang dijamin tersebut melakukan jinayah. Apabila orang
yang dijamin mati, penjamin boleh mewarisi hartanya sepanjang tidak ada
warisnya. Lihat Mohd Fadzli Yusof (1996), op.cit., h. 8; Mohd. Ma’sum
Billah (2003b), op.cit., h. 4.
[18] Konsep perjanjian ini juga berhubungan
dengan jiwa manusia. Sistem ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam sebuah
tabungan atau pengumpulan uang iuran dari peserta atau majlis. Manfaatnya akan
dibayarkan kepada ahli waris yang dibunuh jika kasus pembunuhan itu tidak
diketahui siapa pembunuhnya atau tidak ada keterangan saksi yang layak untuk
benar-benar secara pasti mengetahui siapa pembunuhnya. Mohd Fadzli Yusof
(1996), op.cit., h. 8-9.
[19] Kontrak pengawal Keselamatan. Di dunia
Islam terjadi berbagai kontrak antar individu, misalnya ada individu yang ingin
selamat lalu ia membuat kontrak dengan seseorang untuk menjaga keselamatannya,
dimana ia membayar sejumlah uang kepada pengawal, dengan konpensasi keamanannya
akan dijaga oleh pengawal. Mohd. Ma’sum Billah (2003b), op.cit., h. 4.
[20] Kontrak ini merupakan jaminan keselamatan
lalu lintas. Para pedagang muslim pada masa lampau ingin mendapatkan
perlindungan keselamatan, lalu ia membuat kontrak dengan orang-orang yang kuat
dan berani di daerah rawan. Mereka membayar sejumlah uang, dan pihak lain
menjaga keselamatan perjalanannya. Mohd. Ma’sum Billah (2003b), op.cit.,
h. 4.
[21] Dalam kontrak wadiah ini jikalau
kerusakan pada barang ketika dikembalikan, maka pihak penerima wadiah wajib
menggantinya, karena ketika menitipkan pihak penitip telah membayar sejumlah
uang kepada tempat penitipan.
[22] Sistem pensiun yang sudah lama berjalan
di dunia Islam. Jadi pegawai suatu instansi berhak mendapat jaminan haritua
berupa pensiun, sebagai pampasan dari usahanya ketika ia bekerja pada dahulu.
[23] Lihat, entry 'Aqila' dalam Gibb H.A.R., et.al., 1979. The Encyclopaedia of Islam. Leiden: E.J. Bril,
[24] Bandingkan dengan Murtadha Muthahari. 1995. Pandangan Islam
tentang Asuransi dan Riba. Bandung:Pustaka Hidayah, hal, 312-313
[25] menurut Muslehuddin, ada titik perbedaan antara institusi asuransi
bersama yang sebenarnya dengan bentuk asuransi lain. Berdasarkan bentuk
asuransi bersama pada masa dahulu, kerugian tidak dihitung terlebih dahulu
sebelum suatu musibah terjadi, setidaknya ia ditanggung setelah musibah ini
benar-benar terjadi. Sedangkan berdasarkan bentuk asuransi yang lain, kerugian
tidak langsung ditanggung bersama tetapi dibentuk dana untuk menampung kerugian
yang dihitung terlebih dahulu dengan berpedoman pada pengalaman yang lalu.
Lihat, Muslehuddin, Asuransi… hal, 12
Terima Kasih Atas paparan Manajemen Asuransinya, sangat berguna yang sedang atau akan memilih atau mengetahui info asurasi, manfaat, dan perusahan asuransi, khususnya asuransi kesehatan, pendidikan :)
BalasHapusBaca juga ya paparan saya mengenai Asuransi Kesehatan | Produk : Unit Link Commonwealth Life