Jumat, 13 November 2015

Law and Society-Brian Z. Tamanaha tugas kuliah Sosiologi Hukum



Hukum dan Masyarakat – Brian Z. Tamanaha
Disusun Oleh :
Eka Sundari Banjar Lestari (1420311074)
Randy Dwi Hermanto ( 1420311055)

Hukum dan Masyarakat merupakan subyek yang memiliki potensi tidak terbatas. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perbedaan baik definisi “hukum” maupun “masyarakat”. Istilah hukum dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, karena hukum merupakan fenomena sosial yang tertanam dalam masyarakat secara menyeluruh, bukan sesuatu yang berdiri terpisah dalam hubungannya dengan masyarakat. Menurut Lawrance Friedman “Hukum dan Masyarakat” mulai menjadi objek penelitian sejak awal abad kedua puluh dimana dalam penelitian tersebut berasal dari berbagai aspek seperti sosiologi hukum, sejarah hukum, sejarah hukum, ilmu politik, psikologi, dan perilaku ekonomi, yang kemudian memberikan kontribusi besar dalam menemukan teori sosial, teori politik, dan teori hukum.
Jika melihat dan menelusuri buku-buku mengenai “Hukum dan Masyarakat”, maka bahasan didalamnya mencakup tatanan sosial, kontrol sosial, organisasi sosial, evolusi atau perubahan sosial dan hukum, penyelesaian sengketa, norma sosial, peraturan, hukum dalam tindakan, ideologi, ketimpangan/ketidaksetaraan, kekuatan, hukuman/sanksi, kesadaran hukum, budaya hukum, penataan masyarakat, profesi hukum, teori kritis, hukum dan hubungannya dengan ekonomi, dan sosiologi hukum.
Fungsi hukum bagi masyarakat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
·         Hukum merupakan cermin dari masyarakat yang berfungsi untuk menjaga ketertiban/tatanan sosial.
Dari ungkapan tersebut memunculkan sebuah teori yang disebut dengan teori cermin. Menurut Brian Z. Tanamaha, teori tersebut menjelaskan bahwa hukum selalu terbatas untuk komunitas tertantu. Sebab hukum merupakan pencerminan dari gagasan, tradisi, nilai-nilai, dan tujuan masyarakatnya. Oleh karena itu, transplantasi/ pencangkokan hukum dari masyarakat lain sangat tidak memungkinkan. Menurut Baron de Montesquieu dalam buku milikinya yang berjudul “The Spirit of Law” berpendapat bahwasanya hukum merupakan suatu keharusan yang disesuaikan dengan adat istiadat tertentu, sopan santun, agama, perdagangan, dan sistem politik tertentu yang berkaitan erat dengan situasi dan wilayah masing-masing negara.
Henry Maine membagi hukum yang disesuaikan dengan masyarakat, yaitu hukum pada masyarakat kuno merupakan hukum yang didasarkan pada status orang dalam kelompok, dan hukum pada masyarakat modern individu memiliki keutamaan/keunggulan dan mengatur urusan mereka sendiri sehingga hukum didasarkan pada status kontrak. Steven Vago berpendapat bahwa fungsi hukum yang paling penting adalah untuk mengatur dan membatasi perilaku individu dalam hubungan mereka satu dengan lainnya. Benjamin Cardozo menyatakan bahwa  hukum adalah ekspresi dari prinsip yang terpenting untuk ketertiban dimana seseorang harus menyesuaikan diri dalam perilaku dan hukbungannya sebagai anggota masyarakat.
Emile Durkheim menjelaskan mengenai “hukum adalah refleksi dari masyarakat yang berfungsi untuk menjaga ketertiban sosial” yaitu hukum bagi masyarakat kuno bersifat represif yaitu pengendalian sosial yang ditujukan untuk memulihkan keadaan seperti sebelum pelanggaran itu terjadi karena gangguan/konflik yang terjadi dalam tatanan sosial merupakan ancaman terhadap kelompok tersebut secara keseluruhan. Sehingga dalam pelaksanaanya masyarakat kuno menjalankannya dengan kesadaran kolektif. Sedangkan bagi masyarakat modern, hukum berorientasi ke arah restitusi[1] untuk memperbaiki gangguan/konflik yang terjadi dalam masyarakat. Jurgen Hebermas menyatakan norma hukum sekarang merupakan apa yang tersisa dari kehancuran kesatuan masyrakat. Maksudnya adalah apabila semua mekanisme berasal dari penggabungan integrasi[2] sosial, dalam hal ini hukum tidak mampu memberikan cara/jalan untuk masyarakat bersama-sama mengahadapai masalah yang kompleks, maka masyarakat terbut akan mengalami kehancuran. Dalam pandangan ini, hukum hanyalah sekedar cerminan/gambaran dari hubungan sosial.
·         Hukum merupakan pengatur/rekayasa sosial
Setelah muncul gagasan mengenai hukum merupakan cermin masyarakat yang berfungsi untuk menjaga ketertiban sosial, muncul gagasan lain yang menyatakan bahwa apa yang mempertahankan tatanan sosial adalah hukum. Bronislaw Malinowski menyatakan bahwa hukum tidak terdapat/tidak ditemukan pada otoritas tertentu, kitab undang-undang, pengadilan, dan pihak berwajib/polisi melainkan ada dalam hubungan sosial. Hal ini sejalan dengan Eugen Ehrlich yang menyatakan bahwa hukum tidak munul dalam teks, pengadilan, atau ilmu hukum, melainkan dalam perilaku-perilaku masyarakat. Hukum sebagai perilaku dimaksudkan utnutk mendudukan manusia dalam posisi sentral dalam penerapan hukum. Hukumsejatinya hanyalah teks diam dan hanya melalui perantara manusialah hukum menjadi “hidup”. Felix Cohen menyatakan apabila hukum adalah apa yang mempertahankan tatanan sosial, seperti yag dikatakan Malinowski dan Ehrlich, maka hukum mencakup semua bentuk tatanan normatif, dimana hukum itu sendiri menyatu dengan agama, adat etika, moralitas, kesopanan, kebijaksanaan dan etika.
Hubungan antara hukum dan masyarakat seperti yang disampaikan diatas memunculkan analisis bahwasanya apa yang biasanya dipahami sebagai “hukum” adalah perundang-undangan, peradilan,  pihak penegak hukum dan sanksi. Hal-hal tersebut tidak berpengaruh bagi sebagian tatanan sosial. Ada banyak cara mengatur, mengkoordinasi, dan memelihara tatanan sosial tanpa melibatkan lembaga-lembaga hukum seperti/melalui kebiasaan, adat istiadat, praktek, norma-norma moral, kerangka kognitif, struktural kendala, timbal balik, kepentingan pribadi, altruisme (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri, dan lain sebagainya. Memisahkan hukum dan kehidupan tidak dapat dilakukan. 

Lembaga Pembuat Hukum
Salah satu unsur adanya hukum adalah adanya pihak berwenang yang membuat peraturan. Pada masyarakat kuno pemegang otoritas pembuat hukum dilakukan oleh kepala suku, pimpinan prajurit, atau dewan yang memegangi posisi mereka dengan tradisi yang ditunjuk secara khusu untuk menangani ganguan/konflik yang terjadi di masyarakat. Max Weber menyatakan bahwa perintah akan disebut hukum apabila didalamnya terdapat unsur memaksa yang menjamin adanya balasan/sanksi yang akan diterima bagi siapa saja yang melanggarnya, yang mana hal ini diterapkan oleh majelis/dewan yang memiliki kepentingan khusus untuk mencapai tujuan yang diinginkan dari berlakunya hukum tersebut. Dalam pandangan Max Weber, hukum merupakan aturan-aturan yang mengizinkan orang pada umumnya untuk secara aktif melaksanakannya melalui pranata-pranata khusus yang mempunyai kewenangan untuk melakukan paksaan secara sah, saknsi ekonomi seperti denda, dan lain-lain, sumber kekuasaan yang membuat orang tunduk atau untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Ditemukan adanya kesenjangan antara hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang (hukum positif) dan bagaimana lembaga berwenang tersebut memberlakukan hukum itu sendiri, yaitu : hukum sering diabaikan oleh pejabat pembuat hukum, norma hukum diberlakukan untuk tujuan simbolis yang penegakannya minim untu dilakukan, hukum yang dibuat oleh lembaga/pejabat pembuat hukum tidak jarang bertentangan dengan norma hukum lain yang ada dimasyarakat dan tidak jarang hukum yang berasal dari pembuat hukum tersebut melemah hukum yang lainnya, hal yang sifatnya sis-sia memberlakukan hukum yang bertentangan dengan pandangan sosial, hukum yang berlaku untuk kasus-kasus tertentu dapat menyebabkan hasil yang tidak adil atau merugikan sosial, pejabat hukum kebal terhadap hukum itu sendiri, pejabat hukum membuat hukum dengan tujuan mendapat keuntungan dari pihak luar lembaga pembuat hukum, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari kesenjangan yang terjadi terdapat ketidaksesuaian sistematis, sehingga hukum dinilai hanya sebagai kata-kata di atas kertas.
Kekurangan lainnya adalah proses hukum. Dimana proses hukum berharga mahal dan dapat menyebabkan penyelesaian dalam jangka waktu yang lama, adanya pengacara yang menguasai situsi melebihi pihak yang berperkara (hal tersebut dapat berpotensi memperburuk sengketa), norma hukum yang berlaku mungkin tidak sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh pihak yang bersengketa, sistem hukum dapat menghasilkan pihak yang menang dan yang kalah, dan lain sebagainya. Seharusnya hukum diberlakukan bersifat netral yang keberlakuannya sama untuk semua kalangan, tetapi pada penelitian dilapangan menunjukkan bahwa pihak-pihak berpekara yang kaya tingkat keberhasilannya lebih tinggi dalam tindakan hukum dari para pihak yang miskin.
 


[1][1] Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
[2] proses penyesuaian di antara sistem-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.