Hukum dan
Masyarakat – Brian Z. Tamanaha
Disusun Oleh :
Eka Sundari Banjar Lestari
(1420311074)
Randy Dwi Hermanto ( 1420311055)
Hukum dan Masyarakat merupakan
subyek yang memiliki potensi tidak terbatas. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya perbedaan baik definisi “hukum” maupun “masyarakat”. Istilah hukum
dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, karena hukum merupakan fenomena sosial
yang tertanam dalam masyarakat secara menyeluruh, bukan sesuatu yang berdiri
terpisah dalam hubungannya dengan masyarakat. Menurut Lawrance Friedman “Hukum
dan Masyarakat” mulai menjadi objek penelitian sejak awal abad kedua puluh
dimana dalam penelitian tersebut berasal dari berbagai aspek seperti sosiologi
hukum, sejarah hukum, sejarah hukum, ilmu politik, psikologi, dan perilaku
ekonomi, yang kemudian memberikan kontribusi besar dalam menemukan teori
sosial, teori politik, dan teori hukum.
Jika melihat dan menelusuri buku-buku
mengenai “Hukum dan Masyarakat”, maka bahasan didalamnya mencakup tatanan
sosial, kontrol sosial, organisasi sosial, evolusi atau perubahan sosial dan
hukum, penyelesaian sengketa, norma sosial, peraturan, hukum dalam tindakan,
ideologi, ketimpangan/ketidaksetaraan, kekuatan, hukuman/sanksi, kesadaran
hukum, budaya hukum, penataan masyarakat, profesi hukum, teori kritis, hukum
dan hubungannya dengan ekonomi, dan sosiologi hukum.
Fungsi hukum bagi masyarakat
dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :
·
Hukum
merupakan cermin dari masyarakat yang berfungsi untuk menjaga
ketertiban/tatanan sosial.
Dari ungkapan tersebut memunculkan
sebuah teori yang disebut dengan teori cermin. Menurut Brian Z. Tanamaha, teori
tersebut menjelaskan bahwa hukum selalu terbatas untuk komunitas tertantu.
Sebab hukum merupakan pencerminan dari gagasan, tradisi, nilai-nilai, dan
tujuan masyarakatnya. Oleh karena itu, transplantasi/ pencangkokan hukum dari
masyarakat lain sangat tidak memungkinkan. Menurut Baron de Montesquieu dalam
buku milikinya yang berjudul “The Spirit of Law” berpendapat bahwasanya hukum
merupakan suatu keharusan yang disesuaikan dengan adat istiadat tertentu, sopan
santun, agama, perdagangan, dan sistem politik tertentu yang berkaitan erat
dengan situasi dan wilayah masing-masing negara.
Henry Maine membagi hukum yang
disesuaikan dengan masyarakat, yaitu hukum pada masyarakat kuno merupakan hukum
yang didasarkan pada status orang dalam kelompok, dan hukum pada masyarakat
modern individu memiliki keutamaan/keunggulan dan mengatur urusan mereka
sendiri sehingga hukum didasarkan pada status kontrak. Steven Vago berpendapat
bahwa fungsi hukum yang paling penting adalah untuk mengatur dan membatasi
perilaku individu dalam hubungan mereka satu dengan lainnya. Benjamin Cardozo
menyatakan bahwa hukum adalah ekspresi
dari prinsip yang terpenting untuk ketertiban dimana seseorang harus
menyesuaikan diri dalam perilaku dan hukbungannya sebagai anggota masyarakat.
Emile Durkheim menjelaskan mengenai “hukum
adalah refleksi dari masyarakat yang berfungsi untuk menjaga ketertiban sosial”
yaitu hukum bagi masyarakat kuno bersifat represif yaitu pengendalian sosial
yang ditujukan untuk memulihkan keadaan seperti sebelum pelanggaran itu terjadi
karena gangguan/konflik yang terjadi dalam tatanan sosial merupakan ancaman
terhadap kelompok tersebut secara keseluruhan. Sehingga dalam pelaksanaanya
masyarakat kuno menjalankannya dengan kesadaran kolektif. Sedangkan bagi
masyarakat modern, hukum berorientasi ke arah restitusi[1]
untuk memperbaiki gangguan/konflik yang terjadi dalam masyarakat. Jurgen
Hebermas menyatakan norma hukum sekarang merupakan apa yang tersisa dari
kehancuran kesatuan masyrakat. Maksudnya adalah apabila semua mekanisme berasal
dari penggabungan integrasi[2]
sosial, dalam hal ini hukum tidak mampu memberikan cara/jalan untuk masyarakat
bersama-sama mengahadapai masalah yang kompleks, maka masyarakat terbut akan
mengalami kehancuran. Dalam pandangan ini, hukum hanyalah sekedar
cerminan/gambaran dari hubungan sosial.
·
Hukum
merupakan pengatur/rekayasa sosial
Setelah muncul gagasan mengenai
hukum merupakan cermin masyarakat yang berfungsi untuk menjaga ketertiban
sosial, muncul gagasan lain yang menyatakan bahwa apa yang mempertahankan
tatanan sosial adalah hukum. Bronislaw Malinowski menyatakan bahwa hukum tidak
terdapat/tidak ditemukan pada otoritas tertentu, kitab undang-undang,
pengadilan, dan pihak berwajib/polisi melainkan ada dalam hubungan sosial. Hal
ini sejalan dengan Eugen Ehrlich yang menyatakan bahwa hukum tidak munul dalam
teks, pengadilan, atau ilmu hukum, melainkan dalam perilaku-perilaku
masyarakat. Hukum sebagai perilaku dimaksudkan utnutk mendudukan manusia dalam
posisi sentral dalam penerapan hukum. Hukumsejatinya hanyalah teks diam dan
hanya melalui perantara manusialah hukum menjadi “hidup”. Felix Cohen
menyatakan apabila hukum adalah apa yang mempertahankan tatanan sosial, seperti
yag dikatakan Malinowski dan Ehrlich, maka hukum mencakup semua bentuk tatanan
normatif, dimana hukum itu sendiri menyatu dengan agama, adat etika, moralitas,
kesopanan, kebijaksanaan dan etika.
Hubungan antara hukum dan masyarakat
seperti yang disampaikan diatas memunculkan analisis bahwasanya apa yang
biasanya dipahami sebagai “hukum” adalah perundang-undangan, peradilan, pihak penegak hukum dan sanksi. Hal-hal
tersebut tidak berpengaruh bagi sebagian tatanan sosial. Ada banyak cara mengatur,
mengkoordinasi, dan memelihara tatanan sosial tanpa melibatkan lembaga-lembaga
hukum seperti/melalui kebiasaan, adat istiadat, praktek, norma-norma moral,
kerangka kognitif, struktural kendala, timbal balik, kepentingan pribadi,
altruisme (perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri
sendiri, dan lain sebagainya. Memisahkan hukum dan kehidupan tidak dapat
dilakukan.
Lembaga Pembuat Hukum
Salah satu unsur adanya hukum adalah
adanya pihak berwenang yang membuat peraturan. Pada masyarakat kuno pemegang
otoritas pembuat hukum dilakukan oleh kepala suku, pimpinan prajurit, atau
dewan yang memegangi posisi mereka dengan tradisi yang ditunjuk secara khusu
untuk menangani ganguan/konflik yang terjadi di masyarakat. Max Weber
menyatakan bahwa perintah akan disebut hukum apabila didalamnya terdapat unsur
memaksa yang menjamin adanya balasan/sanksi yang akan diterima bagi siapa saja
yang melanggarnya, yang mana hal ini diterapkan oleh majelis/dewan yang
memiliki kepentingan khusus untuk mencapai tujuan yang diinginkan dari
berlakunya hukum tersebut. Dalam pandangan Max Weber, hukum merupakan aturan-aturan
yang mengizinkan orang pada umumnya untuk secara aktif melaksanakannya melalui
pranata-pranata khusus yang mempunyai kewenangan untuk melakukan paksaan secara
sah, saknsi ekonomi seperti denda, dan lain-lain, sumber kekuasaan yang membuat
orang tunduk atau untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku yang melanggar
aturan-aturan tersebut.
Ditemukan adanya kesenjangan antara
hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang (hukum positif) dan bagaimana lembaga
berwenang tersebut memberlakukan hukum itu sendiri, yaitu : hukum sering
diabaikan oleh pejabat pembuat hukum, norma hukum diberlakukan untuk tujuan
simbolis yang penegakannya minim untu dilakukan, hukum yang dibuat oleh
lembaga/pejabat pembuat hukum tidak jarang bertentangan dengan norma hukum lain
yang ada dimasyarakat dan tidak jarang hukum yang berasal dari pembuat hukum
tersebut melemah hukum yang lainnya, hal yang sifatnya sis-sia memberlakukan
hukum yang bertentangan dengan pandangan sosial, hukum yang berlaku untuk
kasus-kasus tertentu dapat menyebabkan hasil yang tidak adil atau merugikan sosial,
pejabat hukum kebal terhadap hukum itu sendiri, pejabat hukum membuat hukum
dengan tujuan mendapat keuntungan dari pihak luar lembaga pembuat hukum, dan
lain sebagainya. Jika dilihat dari kesenjangan yang terjadi terdapat
ketidaksesuaian sistematis, sehingga hukum dinilai hanya sebagai kata-kata di
atas kertas.
Kekurangan lainnya adalah proses
hukum. Dimana proses hukum berharga mahal dan dapat menyebabkan penyelesaian
dalam jangka waktu yang lama, adanya pengacara yang menguasai situsi melebihi
pihak yang berperkara (hal tersebut dapat berpotensi memperburuk sengketa),
norma hukum yang berlaku mungkin tidak sesuai dengan norma-norma yang dianut
oleh pihak yang bersengketa, sistem hukum dapat menghasilkan pihak yang menang
dan yang kalah, dan lain sebagainya. Seharusnya hukum diberlakukan bersifat
netral yang keberlakuannya sama untuk semua kalangan, tetapi pada penelitian
dilapangan menunjukkan bahwa pihak-pihak berpekara yang kaya tingkat
keberhasilannya lebih tinggi dalam tindakan hukum dari para pihak yang miskin.
[1][1]
Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku
berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian
materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
[2]
proses penyesuaian di antara
sistem-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga
menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi.